Tahta Mahameru by Azzura Dayana


Tahta Mahameru
Title : Tahta Mahameru
Author :
Rating :
ISBN : -
ISBN-10 : 9786027595002
Language : Indonesian
Format Type : Paperback
Number of Pages : 380
Publication : First published April 1, 2012
Awards : Indonesia Islamic Book Fair Award Fiksi Dewasa (2014)

“Mahameru… Puncak Abadi Para Dewa.” Ikhsan memandang Mahameru lagi. “Apakah itu artinya… Allah tidak punya tempat di sana?”
Faras, si gadis kutu buku asal desa Ranu Pane hanya bisa mengangkat tinggi kedua alisnya.
“Seperti aku, kamu juga tidak tahu banyak tentang tahta Mahameru?” tanyanya lagi.
Tahta Mahameru?
Itulah salah satu dari tiga pertanyaan tak terjawab dari Ikhsan kepada Faras. Masing-masing diajukan dalam tiga pertemuan singkat mereka sebelum mendaki gunung tertinggi di Pulau Jawa itu. Pendaki gunung berwatak keras dari keluarga yang penuh kebencian ini menjadikan Mahameru sebagai peredam sesaat jiwanya yang penuh dendam. Namun kegetiran semakin memuncak sampai akhirnya ia benar-benar membalas dendam dan hidup terasing. Faras, sang teman baik yang merasa bersalah dalam terseretnya Ikhsan ke ujung tanduk menelusur jejak sang pendaki hingga melintasi pulau. Ia ditakdirkan bertemu dan seperjalanan panjang dengan Mareta, seseorang yang ternyata terkait dalam dendam keluarga Ikhsan.
Apa sebenarnya yang terjadi pada Ikhsan setelah menghilang tiga tahun? Lalu masih pentingkah Faras mengungkap semua jawab atas pertanyaan esensial Ikhsan yang dulu, melalui keajaiban demi keajaiban dalam pendakian Mahameru yang mungkin tak terlihat selama ini?
Tahta Mahameru, sebuah novel yang tak hanya menyajikan rangkaian peristiwa luar biasa tentang kehidupan anak manusia, tapi juga menyuguhkan petualangan tokoh-tokohnya dari satu daerah ke daerah lain, menghadirkan sisi religi yang menggugah, dan ikut mengupas latar adat suku Bugis yang kental dan terkenal akan kapal pinisi mereka. Serta tentu saja, pendakian Gunung Mahameru yang berbeda dari biasanya.


More details:
Tokoh utama: Raja Ikhsan, Faras, Mareta (nama2 terinspirasi dari nama murid-murid penulis)
Sudut pandang: orang pertama, dari tiga tokoh utama di atas secara bergantian
Alur: maju - mundur
Setting: Borobudur, Surabaya, Ranu Pane, Semeru (Mahameru), Bromo, Makassar, Tanjung Bira, Jakarta
Harga buku: Rp55.000


Tahta Mahameru Reviews


  • Ryan

    what a great novel dari Azzura Dayana...!!!
    ini bukan sebuah review, saya hanya ingin memberikan kesan. novel yang benar2 sangat recommended untuk dibaca. memberikan banyak pelajaran untuk kita dalam menjalani hidup; melupakan dendam, belajar memaafkan dan menerima secara tulus, memperbaiki diri dan sebagainya. saya sungguh mendapatkan banyak hal berharga dari novel ini. Oh ya, untuk ending dari novel ini saya tidak pernah berpikir itu "menggantung", buat saya justru ending yang seperti itulah yang pas untung novel seperti ini :))

    tambahan: saya semakin penasaran pengen ke Mahameru :(

  • Dewayanie prasetio

    Membaca novel ini, *lagi-lagi* seperti membaca tentang Yana(penulisnya) pada tokoh Faras. Mungkin karena Faras digambarkan sebagai sosok yang sederhana, kutu buku, baik dan lumayan matang memahami Islam.
    Yang nggk sama sepertinya hanya asal si tokoh, Faras adalah seorang gadis di desa Ranu Pane yang berkarya sebagai guru SD. Sedang Yana jelas adalah wong kito galo, Palembang... :)

    Seperti kata, Gegge Mappangewa, sang juara pertama :"Membaca Tahta Mahameru (Pemenang II Lomba Novel Republika).
    Jelas sekali penulisnya seorang backpacker :) Dari Mahameru, Borobudur, Tanjung Bira - Sulsel, membuatku ragu Azzura Dayana ini orang Palembang atau Jawa-Makassar ? :) Deskripsi latar sangat jelas.
    Jadi ikutan ragu nih, wong kito galo apa Malang Yan...? Ah, sudahlah...kok malah ikutan membahas siih... :)

    Yang pasti dengan membaca novel ini kalian akan dibawa backpack ke tempat-tempat asyiik yang ada di Indonesia ini. Selain Ranu Pane dan Mahameru, Borobudur, juga ada Bira hingga masyarakat Bugis dengan Phinisi kebanggaan mereka. Dan jelas akan menambah banyak wawasan kalian. *Iri*

    Banyaknya larik lirik puitis romantis yang bertebaran, sedikit banyak menambah point tersendiri untuk novel ini. (khususnya buat saya...:))
    Ada puisi SDD, Sajak Kecil Tentang Cinta.... dan ada puisinya Idhan Lubis, yang saya suka banget. (Meski jelas saya bukan anak gunung, tapi saya suka sekali dengan lirik puisi itu! Mengingatkan pada apa yang tertulis di buku kenangan tahunan sekolah)

    Bila kita berpisah
    ke mana kau aku tak tahu, sahabat
    atau turuti kelok-kelok jalan
    atau tinggalkan kota penuh merah flamboyan
    ........

    Tak ketinggalan tentunya kalimat-kalimat puitis Gibran, karena Faras pecinta Gibran.

    Manusia tidak akan dapat menuai cinta sampai dia merasakan perpisahan yang menyedihkan...

    Selamat membaca. Maap, seperti biasa ini bukan review. Hanya sekedar kesan sebagai pembaca.



  • Afifah

    Kemarin saya memberi 3,5. Tapi setelah saya baca ulang, novel ini layak dapat bintang 4. Hehe. Tapi, tetap ada syarat yang belum tercapai pada TM ini, sehingga saya belum berani memberi 5 bintang. Pertama, kekentalan setting TM masih kurang. Nuansa Jawa bagian Timur, belum bisa terwakilkan pada sosok Faras. Orang Jawa Timur, apalagi berdekatan dengan daerah Blambangan, biasanya keras, memiliki prinsip hidup yang sangat kuat--bisa dikatakan 'saklek'. Sementara, Faras disini digambarkan sangat lembut, sangat baik, bak Sponge Bob. Nama Faras yang dipakai pun tak cocok untuk seorang gadis yang tinggal di lereng Semeru. Mungkin Saras, Saraswati misalnya, lebih cocok, mengingat budaya hindu masih cukup kuat di Semeru.
    Dua hal tersebut hanya contoh betapa Azzura Dayana kurang kuat mencelupkan setting Mahameru. Sosiologi-antropologi daerah tersebut kurang diangkat, bahkan kalah dengan paparan panjang lebar tentang Bugis, yang juga diangkat di novel ini.

    Sangat bagus, jika Legenda Soe Hok Gie pun diangkat, dan dikaitkan dengan pencarian hidup Ikhsan. Soe Hok Gie cukup bergema bagi para pendaki gunung, dan meninggalnya pun di Mahameru. Tapi, tampaknya, Azzura Dayana mungkin menghindari mengangkat hal-hal yang berbau politik, mungkin? :-)

  • Ar Rifa'ah

    Apa yang ada di pikiran seorang gadis sehingga rela menempuh rangkaian perjalanan panjang hanya bermodal foto-foto yang diterimanya lewat e-mail? Pertanyaan itulah yang menghantui pikiran saya sepanjang membaca buku ini. Altitude 3676 Takhta Mahameru ini ditulis dengan apik oleh Azzura Dayana dengan membawa pembaca ikut serta dalam petualangan Faras, seorang gadis lugu dari Ranu Pane di kaki gunung Semeru. Faras yang seorang tamatan SMA nyatanya bukanlah gadis desa biasa. Kegemarannya membaca buku membuatnya memiliki pemikiran yang maju dan terbuka. Ia menjadi gadis cerdas yang gemar menghapalkan larik-larik dari penyair favoritnya, Kahlil Gibran.

    “Kahlil Gibran juga yang mengatakan ‘Berilah aku telinga maka aku akan memberimu suara.’ Itulah mengapa tadi kubilang, harusnya aku mendapatkan cerita, setelah kukatakan aku siap menyimak.” (Faras, hal. 93)

    Gadis ini kemudian ditakdirkan berjumpa dengan seorang pemuda bernama Raja Ikhsan. Berbeda dengan Faras yang tipikal peramah dan supel, Ikhsan justru sebaliknya. Ia adalah lelaki yang tumbuh dengan menabung dendam kesumat di dadanya. Terlahir dari seorang wanita yang merupakan istri kedua, Ikhsan harus menerima kenyataan saat ternyata ayahnya justru kembali ke pelukan istri pertamanya. Tidak hanya sampai di situ, istri tua ayahnya itu terus meneror ibunya yang dianggap sebagai perusak rumah tangga mereka. Tidak heran jika kemudian pemuda ini memiliki sepuluh alasan untuk membunuh ayahnya sendiri, lelaki yang ia anggap menjadi penyebab segala penderitaan yang ia alami. Juga tentu saja membalas teror kepada istri ayahnya yang disinyalir telah menyebabkan ibunya bunuh diri.

    Tidak cukup dengan dua tokoh yang bersebrangan kepribadian itu, penulis juga menampilkan Mareta, seorang gadis kaya yang hidup dengan segala modernitasnya. Pertemuannya yang tidak terduga di Borobudur dengan Faras justru mengantarkan keduanya menjadi rekan seperjalanan hingga tiba di Bira, sebuah daerah di Sulawesi Selatan. Mareta, cewek metropolitan itu tentu nampak bagai langit dan bumi dengan Faras yang berjilbab rapi dengan tutur kata yang terjaga.

    Ketiga tokoh ini terlibat dalam rangkaian cerita yang disajikan dengan alur maju-mundur dan sudut pandang Faras, Mareta, dan Ikhsan secara bergantian. Tiga kepribadian berbeda yang ternyata terhubung pada satu benang merah. Tiga sudut pandang ini memberikan ruang kepada pembaca untuk lebih menyeksamai tiap karakter tokoh-tokoh tersebut, serta memandang setiap kejadian di dalam cerita lewat angel yang berbeda-beda. Hal ini membuat pembaca memiliki pengetahuan yang utuh tentang berbagai konflik di dalam novel ini.

    Perjumpaan antara Ikhsan dan Faras yang hanya terjadi tiga kali saat Ikhsan hendak mendaki Semeru rupanya menjadi asal muasal dari cerita ini. Selanjutnya, hubungan yang aneh –kadang manis, namun bisa berubah menjadi dingin, antara Faras dan Ikhsan kemudian terus berlanjut lewat cara yang tidak kalah anehnya; e-mail satu arah dari Ikhsan yang berisi foto-foto tempat yang ia dikunjungi selepas perpisahannya dengan Faras di Ranu Pane. Atas dasar itulah, Faras menelusuri jejak Ikhsan hingga pergi ke Borobudur, menyebrang ke Pulau Sulawesi menuju Bira di Bulukumba, lalu kembali lagi ke kampung halamannya di kaki gunung Semeru.

    Satu per satu kejadian yang melatarbelakangi cerita ini terkuak di setiap lembaran bukunya. Pembaca pun dikocok emosinya lewat ketegangan demi ketegangan saat mengikuti hidup Ikhsan yang keras dan penuh dengan rencana sadis. Pada satu titik mungkin pembaca pun akan ikut kebingungan pada kepribadian Ikhsan yang tiba-tiba berubah menjadi begitu peduli dan bijaksana pada sebuah keluarga di Bira yang menjadi sedemikian suram ketika kehilangan dua anak mereka. Anak gadis yang dibawa pergi oleh kekasihnya karena tidak direstui oleh keluarganya, dan yang lelaki mati muda saat mengejar pemuda yang membawa lari adik perempuannya itu. Tragedi itu berkaitan dengan aturan adat guna menjaga kehormatan keluarga mereka. Jika pembaca tidak jeli mengikuti ‘penjelasan dari penulis’ lewat flashback kejadian sebelum peristiwa tersebut, mungkin pembaca akan menilai adanya inkonsistensi dalam penggarapan karakter Ikhsan. Mengapa seolah-oleh dengan mudahnya warna hati pemuda itu menjadi berubah?

    Berbagai ketegangan dari kehidupan Ikhsan yang begitu semrawut akan tercairkan saat mengikuti tiap deskripsi setting yang dipaparkan dengan detail oleh sang penulis. Dalam hal ini, terasa betul betapa penulis sangat menguasai latar tempat yang ia gunakan. Keindahan Borobudur, eksotisnya Bira, kebudayaan dan sejarah suku Bugis yang gagah berani, bahkan tentang adat yang masih dipegang kokoh oleh sebagian masyarakatnya, serta keelokan pemandangan alam yang disuguhkan dalam pendakian menuju Puncak Mahameru. Penulis yang juga seorang backpacker dan gemar panjat gunung ini, juga menuturkan dengan apik tentang berbagai tetek bengek pendakian Semeru yang seru dan menegangkan. Selain itu, di beberapa bagian buku ini juga mengutip petikan syair nasyid dan lagu, serta sajak-sajak yang memesona dan menyimpan makna mendalam.

    “Menjadi air harus menjadi ricik. Sampai-sampai hujan yang kesekian kerap juga menemani perjalanan cinta kita. Hujan di langit itu. Hujan di matamu” Sajak Kecil tentang Cinta, Sapardi Djoko Damono. (Faras, hal. 113).

    Layaknya ciri khas buku terbitan Indiva yang lain, buku ini juga tidak melulu hanya berupa rangkaian cerita tanpa makna. Idealisme dan nilai-nilai religius dan spiritual juga terasa kental di dalamnya.

    “Kata apa lagi yang sanggup kami ungkapkan untuk memuji Allah,” tambah Faras dalam gumamnya. “Untuk semua kehebatan penciptaan ini. Padahal Mahameru baru satu bagian kecil saja dari seluruh ciptaanNya di semesta raya.” (Faras, hal 413)

    Bahkan, hubungan antara Faras dan Ikhsan juga tidak dieksplorasi dari sudut romantika belaka, namun lebih kepada tanggung jawab antar sesama muslim untuk saling menasihatkan kepada kebaikan. Namun, hal ini bisa saja justru menjadi sebuah bumerang, saat pembaca akhirnya bertanya-tanya, bagaimana sebenarnya perasaan antara Faras dan Ikhsan?

    Ya, tak ada gading yang tak retak. Setidaknya, saya menemukan sebuah kejanggalan dalam novel bercover pemandangan ‘negeri awan’ dari atas gunung ini.
    “Iya, saking sayangnya aku padanya, sampai aku ingin kubunuh suaminya.” (Ikhsan, hal.115). Kalimat ini tentu lebih enak dibaca jika kata ‘aku’ yang kedua dihilangkan. Semoga ini hanya kesalahan pengetikan belaka.

    Lalu, apa sebenarnya hubungan Mareta dengan Ikhsan? Dan mengapa Faras tidak kunjung menemukan Ikhsan meski telah mengikuti petunjuk foto dalam e-mail yang ia terima? Apa yang hendak disampaikan gadis itu hingga rela menempuh perjalanan yang begitu jauh? Dan sanggupkah Ikhsan menanggalkan semua kebencian dan dendam yang ia pelihara?

    Begitu jauh para tokoh ini melanglang buana. Namun, layaknya kehidupan, terkadang jawabannya justru ditemukan pada titik mula. Maka semua pertanyaan itu pun terkuak di Ranu Pane dan terjawab dengan tuntas ketinggian 3676 meter di atas permukaan laut, di Puncak Mahameru.

    Lewat Altitude 3676 Takhta Mahameru ini, Azzura Dayana berhasil mengusung nilai-nilai kehidupan yang dipaparkan dengan begitu halus dan cerdas, plus dengan gaya bertutur yang indah dan tidak menggurui. Karena itulah, novel ini tentu sangat layak untuk dibaca dan direnungi. Selamat!

  • Haryadi Yansyah

    Ikhsan, pemuda ini hidup dengan luka di hatinya. Ia yang lahir dari seorang ibu yang merupakan istri muda bagi ayahnya. Dalam keperihatinan hidup dari kecil Ia dan Ibunya sudah menjadi bulan-bulanan istri pertama ayahnya. Ibunya yang pengalah pun tak mampu menyembunyikan luka. Cercaan, perlakuan kasar dan intimidasi membuat Ibunya menyerah hingga akhirnya memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan cara membakar diri.

    Ibunya tewas dalam duka mendalam. Selain itu, usaha Ikhsan dalam menyelamatkan Ibunya juga meninggalkan luka di wajahnya. Luka yang tak seberapa terasa ketimbang hatinya yang remuk pasca kejadian tersebut. Dibalik kejadian itu, Ikhsan meyakini bahwa ada campur tangan dari istri pertama ayahnya. Ikhsan yakin sebelum kejadian naas itu, Ny Junita –istri pertama ayahnya, datang ke rumah mereka dan melakukan intimidasi hebat sehingga Ibunya nekat membakar dirinya sendiri.

    Jadi, tak heran memang jika Ikhsan hidup dalam dendam. Impiannya hanya satu. Bisa melenyapkan Ayahnya, Nyonya Junita dan anak-anak dari istri pertamanya. Ikhsan yang tumbuh besar dalam ketidakharmonisan hubungan anak-orang tua menjadikannya sosok yang ketus, dingin, acuh dan tidak peduli kepada orang lain. Tak heran Ia tidak memiliki banyak teman. Satu-satunya orang yang tahan dengan tingkahlakunya yang kasar adalah Fikri yang memiliki hobi sama sepertinya. Mendaki gunung.

    Dalam pendakian ke Gunung Semeru-lah akhirnya Ikhsan bertemu dengan Faras. Gadis desa yang pintar nan sabar. Di pertama perjumpaan mereka, Farah tak hentinya beristighfar dalam hati mendapati sikap Ikhsan yang ketus. ”Kurasa wajar kalau suatu hari nanti aku menemukan adegan seseorang sedang menonjok anak ini,” batin Farah. Hal.40.

    Kampung di kaki Semeru yang dingin, suatu hari menyebabkan Ikhsan harus bermalam di rumah Faras. Sikap baik Faras dan Ayahnya tetap ditanggapi dingin oleh Ikhsan. Hati pemuda itu membeku, melebihi dinginnya puncak Semeru. Ketika di pagi hari Farah berbaik hati membangunkan Ikhsan dan mengingatkan untuk shalat, apa yang dijawab Ikhsan? ”Kamu bisa jelaskan kepadaku sebelas alasan kenapa aku harus shalat?” Hal. 46. Farah yang tercekat dengan pertanyaan itu kalah. Ia tidak berhasil membuat Ikhsan shalat disubuh yang hening itu.

    Begitu seterusnya. Ikhsan bisa dikatakan rutin mengunjungi Gunung Semeru setidaknya setahun sekali bersama sahabatnya Fikri dan rombongan yang lain. Di saat-saat pertemuan itulah terjalin pertemanan yang unik antara Ikhsan-Fikri dan Farah. Namun, tiba-tiba Ikhsan tak lagi mengunjungi Semeru. Fikri pun tidak mengetahui keberadaan Ikhsan.

    Dimana Ikhsan?

    Dialog-dialog antara Ikhsan dan Farah belakangan terjalin melalui email. Ikhsan rutin mengirimkan beberapa pesan dan foto mengenai keberadaan mereka. Itupun setelah tiga tahun perjumaan terakhir mereka. Ketika Farah menerima email Ikhsan dan foto Borobudur. Gadis gunung itu segera bergegas menuju Magelang. Ia ingin menuntaskan dan menjawab pertanyaan Ikhsan yang diajukan tiga tahun lalu kepadanya.

    Sesampai di Borobudur sayang Ikhsan ternyata telah berpindah ke Makassar. Di Borobudur, Farah bertemu Mareta. Gadis tomboi yang gemar berpetualang. Dengan pertemuan yang singkat, akhirnya Farah dan Mareta memutuskan untuk pergi ke Makassar bersama. Di tengah perjalanan, timbul pertanyaan di relung Farah dan Mareta. Masing-masing mereka meyakini bahwa satu sama lain berhubungan dengan orang yang ada pada masa lalu mereka. Namun siapa?

    Buku ini merupakan pemenang terbaik kedua dalam Lomba Novel Republika 2011. Maka tak heran kualitas novel ini diatas rata-rata. Penggambaran hati-perjalanan dan rasa yang ditawarkan novel ini kental terasa. Beruntung penulisnya –Azzura Dayana, merupakan traveler sejati yang memang sudah mendatangi tempat-tempat yang ia jadikan setting di novelnya ini.

    Selain perjalanan mengunjungi pelbagai daerah eksotis di Indonesia dan sensasi mendaki gunung, novel ini tak lupa menyelipkan nilai moral melalui jawaban-jawaban atas pertanyaan yang diutarakan sosok Ikhsan yang antipati terhadap agama. Tentu tanpa kesan menggurui. Penulis yang mahir menulis kisah misteri ini (Novel Alabaster adalah bukti lain dari penulis) juga mampu menyelipkan perseteruan, delik pembunuhan hingga gambaran kemarahan dengan detail.

    Tahta Mahameru adalah novel yang lengkap. Racikan plot yang dijalin cukup baik. Aku hampir tidak menemukan typo di novel ini. Sempat bertemu dengan lompatan dialog yang agak rancu, namun tidak menutupi kemegahan novel ini. Novel setebal 380 halaman ini bahkan aku tuntaskan dalam sekali duduk. Menjadi rekor sendiri untuk aku yang sudah berbulan-bulan tidak membaca buku dan.... tidak mengulas buku.

    Akhir kata, Tahta Mahameru adalah novel yang sayang untuk dilewatkan. Terlebih yang menyukai cerita campuran mengenai perjalanan, lokalitas, misteri dan pertanyaan-pertanyaan akan hidup. Selamat membaca.

    ”Persahabatan itu adalah pertanggungjawaban yang manis, bukan peluang” Hal 110.

  • Yuni

    Ugh, I feel really bad about my rating because this kind of story was supposedly my type. but I need almost a whole year to finish it. so lazy :D

    let's go with the negative points first ^^ and do tell me if I get it wrong.

    Cont(s):
    I will start with...
    - one disturbing quote: "kalau dendam kita tidak bisa kita balaskan oleh tangan kita sendiri, Tuhan yang akan membalas dendam itu kepada mereka, di akhirat."

    Ohlala. surprise. surprise.
    di akhirat Tuhan akan membalas perbuatan manusia baik dan buruk secara adil sebagai bentuk pertanggungjawaban, that much I know. tapi itu untuk membalaskan dendam manusia? that one is new to me and I don't like the sound--or the value--of it.

    - teknikal: cetak miring di mana-mana, ugh, my eyes gone juling >_< untung kepala nggak ikutan teleng.

    sepertinya, entah penulisnya atau editornya, terobsesi banget sama EYD. but, what I find strange is, ada kata-kata seperti:

    udah, tapi, daah, hmm, siip, heii, dll,

    yg ubeg-ubeg kbbi sampai muntah juga nggak akan nongol di sana dan anehnya, ditulisnya nggak miring.

    - karakter Faras: well, emosi manusia nggak sepuitis buku Kahlil Gibran, mbak.

    dan jelas lebih ke praktikal daripada teori. Faras bisa menasehati tentang masalah dendam, benci, dsb, dst by theory, tapi apa dia pernah punya pengalaman dengan itu semua? dari yang aku baca, dia cewek baik-baik dari keluarga baik-baik dan hidupnya lempeng-lempeng aja.
    note: please let me know if I get it wrong. maybe the information about her emotional hardship experience is somewhere in the book, but I skip over it.

    - karater Ikhsan: he tried so hard to appear grim and tragic.

    kata-katanya, gerak-geriknya, tingkah lakunya, bahkan mungkin bau nafasnya juga, he already gave off an impression "I have a dark past, I've gone through so much tragedy, and you happy-go-lucky people are just annoying." he didn't even bother to hide it!
    well, this is really a matter of preference. I'm not really fond of that kind of character ^^

    - karakter yang lain: well, they didn't really grow on me. I don't hate those whom I'm supposed to hate and I don't care for those whom I'm supposed to like.

    - panggilan 'nyonya', umm... it's kind of err, out of date?

    hari gini, aku nggak pernah lagi dengar orang manggil nyonya kecuali di kalimat 'kepada nyonya Junita, ditunggu bapak di parkiran mobil lantai dua'.

    - plot about the past, masalah keluarga Ikhsan, it's overused and cheesy.

    I don't mind with cliche or a cheesy plot in a drama, as long as it was beautifully done (say, Ilana Tan's books). sayangnya drama-drama di buku ini... (O_O) was I watching sinetron 'Dendam Anak Tiri' right now?

    - the dialogues: do normal people really talk like that?

    just small examples:

    "Akhir bulan depan adalah akhir masa tahananmu, Nak."

    err... the use of adalah in casual conversation sounds EW 'extinct in the wild' to me.

    "Kalau begitu mari kita temui Aros, juga ayah dan ibunya."

    same case, but this one sounds CR 'critically endangered'. seriously, terakhir aku pake kata 'mari' di percakapan => 'mari, bu, mari, pak, numpang lewat' atau 'yuuuk, mariii'.

    "Aku meluncur, berguling di tanah, menuju ke bawah." -> narasi Ikhsan

    meluncur + berguling = udah pasti ke bawah, ya.

    I'll figure it out that much, no need to tell me every single detail. ke bawah, ke atas, ke kiri, ke kanan, ke depan, ke belakang, I somewhat get irritated when I find these words in a narration.

    "Bocah bodoh. mana mungkin aku datang menyerahkan nyawaku!"

    ciattt...


    ok, enough with the rants ^^ now the things I like about the book:

    - bab pertama. the book is kinda successful with its first three pages. it made me go 'hooo', although after that I went 'eeeh'.

    - perjalanan Faras dan Mareta yang mengalir hanya karena dia mendengar kata 'Raja Ikhsan' dari percakapan telepon Mareta. I like it ^^

    - the traveling. setting tempat, budaya, adat, dan informasi-informasi di buku itu. jujur bukan karakter dan plot yang bikin aku bisa namatin buku ini, tapi cerita traveling-nya.

    salah satu info yg menarik:

    Narasi Ikhsan => "Kali ini, melalui sebuah warnet dengan tarif murah itu..."

    WOW, di Banjarmasin pasti tarif warnet mahal soalnya Ikhsan sampai ngerasa perlu untuk menjelaskan dia ngirim email dari warnet murah. di kotaku, sih, semua warnet murah-murah aja asal komputernya nggak ikut dibawa pulang.

    ok, now for the...

    summary: I think this book will really be my type if the drama is well executed and the purple proses are kept to minimum.

    and woow... reading my own review, I'm kinda a picky reader :D

    Drop your kritik n saran for me^^:

    https://www.goodreads.com/story/list/...

  • Ania Maharani

    Judul buku : Altitude 3676, Takhta Mahameru

    Penulis : Azzura Dayana

    Penerbit : Indiva

    ISBN : 978-602-8277-92-1

    Tebal halaman : 416 cm

    Ukuran : 20 cm

    Harga : Rp 59.000


    Berawal dari pertemuan Faras dengan Mareta di kompleks Candi Borobodur, kemudian menelusuri jejak Raja Ikhsan di Tanjung Bira hingga Semeru. Ketiga tokoh tersebut menjadi sudut pandang cerita yang dikemas apik oleh Azzura Dayana, penulis novel Altitude 3676. Masing-masing tokoh dideskripsikan dengan jelas. Faras, seorang gadis desa Ranu Pane yang ramah, baik terhadap siapa saja, termasuk kepada sosok pendendam Raja Ikhsan. Mareta, sang petualang (backpacker) dari Jakarta ternyata memiliki panggilan khusus terhadap Raja Ikhsan yaitu monster. Ada apa hubungan antara Faras, Mareta, dan Raja Ikhsan? Mengapa Faras bersikeras mengejar jejak Raja Ikhsan?

    Selain mereka, muncul tokoh yang bernama Fikri. Ketua tim pendaki Gunung Semeru ini memiliki hikayat hidup yang penuh pengorbanan. Meski memiliki sifat berlainan dari Raja Ikhsan, mereka bisa bersahabat hingga menaklukkan gunung Semeru yang berketinggian 3676 di atas permukaan air laut. Pendakian gunung hampir dilakukan setiap tahun sebagai ritual memperingati kemerdekaan RI. Dari pendakian itulah, mereka mengenal sosok Faras, sebagai putri awan yang hatinya bersih bak malaikat.

    Pencarian tentang makna hidup, perjuangan untuk menghilangkan rasa dendam, pengabdian terhadap orang tua, serta pengenalan terhadap Sang Pencipta, menjadi kunci hikmah yang terdapat di dalam novel. Bait-bait syair, lagu, kata-kata bertenaga dan kepingan hadits yang terselip menjadi renungan tersendiri bagi pembaca.

    “Dari Abu Abbas, Rasulullah bersabda: ‘Jagalah Allah, niscaya engkau akan bersama-Nya. Kenalilah Allah di waktu lapang, niscaya Ia mengenalimu di waktu susah. Ketahuilah bahwa segala perbuatan salahmu belum tentu mencelakaimu dan musibah yang menimpamu belum tentu akibat kesalahanmu. Ketahuilah bahwa kemenangan berserta kesabaran, kebahagiaan berserta kedukaan, dan setiap kesulitan ada kemudahan.” (Di Bawah Purnama – 107)

    “Kata Kahlil Gibran, arti penting manusia adalah bukan pada yang dia raih, melainkan lebih pada apa yang ingin dia raih.” (Putri Awan – 93)

    “Sesuatu yang kita cintai, tapi sempat hilang lama dari hidup kita, pastilah bahagia dan haru-birunya tak terhingga ketika sesuatu itu kita saksikan kembali. (Mahakarya – 194).

    Ada konflik batin dan fisik yang diceritakan oleh masing-masing sudut pandang tokoh dari sisi berbeda. Hal ini memudahkan para pembaca seperti saya, untuk mengetahui isi hati dari masing-masing tokoh. Kesalahan tata bahasa cetakan pertama dari novel ini tidak ditemukan sedikitpun. Perjalanan alur maju-mundur, tidak menjadi sebuah kebingungan. Kekurangannya, deskripsi latar cerita menjadi hal subjektif yang tidak bisa berkembang luas.

    Novel berketebalan 416 halaman ini bukan hanya menyajikan keindahan dua danau cantik di Semeru: Ranu Pane dan Ranu Kumbolo, melainkan juga pesona kearifan lokal di daerah Celebes, kemegahan pinisi di Bulukumba, dan keindahan Tanjung Bira di Provinsi Sulawesi Selatan. Wow, begitu banyak situs wisata nusantara yang belum saya jelajahi.

    Mulai dari menyusuri pantai hingga mendaki gunung adalah bentuk tafakur alam kepada Sang Pencipta. Dari sini, muncul sebuah keberanian untuk mencari kebenaran, ketenangan, dan kebahagiaan. Seperti dalam novel 5 cm, novel ini bukanlah suatu cerita tentang perjalanan alam ‘biasa’, namun lebih dari itu, yaitu perjalanan hati seorang manusia untuk mengenal Tuhannya dengan baik.

    “Kamu bisa jelaskan padaku sebelas alasan kenapa aku harus shalat?” (Pendekatan – 24)

    Takhta Mahameru. Di tempat tertinggi pulau Jawa tersebut, Raja Ikhsan akan menemukan selaksa alasan kenapa ia harus shalat, cara move on dan menghilangkan rasa dendam kesumat kepada Ayahnya. Ayat-ayat cinta dari Al A’raf akan menjadi cahaya di jiwanya.

    Empat bintang deh, buat buku ini :)

  • Faraziyya

    Ini novel tentang Ikhsan dan Faras.

    Persahabatan mereka yang irit cerita. Faras yang terlampau baik hati, lugu dan tulus. Bertemu dengan Ikhsan yang sinis, hidupnya sepi, dan menjadi pribadi yang pesimis akibat ditimpa banyak kemalangan. Singkatnya, Ikhsan bentukan broken home dan mewujud manusia pendendam. Faras dipertemukan untuknya seolah demi meluruhkan kesedihan dan dendamnya. Perlahan, melalui kebertolakbelakangan antara mereka.

    Pertemuan mereka sebenarnya bisa dihitung jari, begitupun dengan cerita yang mengalir diantara mereka. Tapi Faras begitu fasih mengatakan bahwa Ikhsan adalah sahabatnya. Setidaknya ia ingin menjadi sahabat Ikhsan yang memang sedikit sekali berteman dengan orang lain. Berkorespondensi lewat email, meski beberapa diantara email kiriman Ikhsan adalah intrik adik tirinya -Aulia. Dan berbekal email-email yang masuk dari Ikhsan yang biasanya mengirimkan foto – foto tujuan perjalanannya, Faras mengejar Ikhsan. Dalam pengejaran Ikhsan inilah, Faras mendapat teman seperjalanan yang bernama Mareta. Seorang gadis berkepribadian bebas dan easy going, yang ternyata merupakan seseorang adik (lain ayah) Ikhsan.

    Ranu Pane, menjadi tempat pertemuan pertama Ikhsan dengan Faras. Mba Yana, fasih betul menceritakan latar tempat yang merupakan ‘telinga’ Mahameru tersebut. Tak hanya Ranu Pane dan pendakian Semeru yang akan kita nikmati disini, tetapi juga Tanjung Bira. Menikmati ceritera seputar pinisi, dan cerita tentang simalakama adat suku Bugis yang menjadi perenggut nyawa Fikri, seorang sahabat yang dimiliki Ikhsan.

    Menikmati cerita Mba Yana dalam novel ini, Ikhsan bukan seorang yang hatinya buruk. Ia hanya sedang dalam pencarian jati diri. Dan dalam pencarian ini, kelak, kita menemui satu tokoh lagi yang bernama Yusuf. Seorang tahanan yang menjadi teman satu selnya, Ikhsan, dalam penjara. Loh kenapa Ikhsan masuk penjara? Yah, manteman cari sendiri jawabannya di novel ini ya :-P

    Jadi empat bintang dari saya ini adalah untuk narasi perjalanan, narasi pendakian semeru, kutipan-kutipan lirik lagu dan nasyid juga untuk Tanjung Bira. Yang kurang sreg buat saya, dari buku ini, adalah penggunaan gue untuk tiap bagian yang menceritakan Mareta. Mungkin iya, pribadinya bebas dan easy going, pokoknya anak kota lah ya, tapi tetap ga nyaman tiap kali baca penceritaan Mareta. Ah, mungkin juga saya sudah lama tidak baca teenlit atau metropop yang familiar dengan gue-loe. Selebihnya, duh, Faras itu terlalu baik, ampe bikin geregetan (atau sebenarnya iri? -.-a).

    Ada cerita cinta juga di novel ini, bagian-bagian akhir, terbaca ketertarikan Ikhsan pada Faras. Lalu ada aroma cemburu, saat Ikhsan tahu bahwa Faras hendak dijodohkan dengan Nurdin. But then, kisah cintanya tak mendapat kejelasan hingga akhir novel ini (menggantung). Ah, toh bukan itu yang sepenuhnya ingin disuguhkan di novel ini, tetapi persahabatan antara Ikhsan dan Faras juga tentang pencarian Ikhsan serta (tentu saja) tentang Mahameru!

    So, this is it, novel pemenang kedua lomba novel Republika (2011) karya Mba Yana. Patut dibaca biar tenggelam dalam narasi pendakian semeru dan kesederhanaan Ranu Pane.

    Semoga bermanfaat.
    Salam Semangat Membaca~

  • Iman Safri lukman

    Saya bingung, ini novel apa 'provokator' yak? haha.. kok 'ngomporin' mulu kerjaannya. Novel ini seakan ga henti-hentinya bilang: "Masihkah kau tetap disini? tanpa pernah mengetahui keindahan bumi kita dengan mata dan hatimu sendiri? Lihat Raja Ikhsan, Lihat Mareta, Lihat Faras.. tak inginkah kamu seperti mereka?"

    Penasaran, itu adalah magnet yang menarik untuk terus membuka tiap halaman dari novel ini. Mengapa Faras rela berpetualang menyeberang pulau--mencari Raja Ikhsan, (Ah, ini pasti tentang cinta ... pasti! nebak-nebak ah). Aku seolah tak peduli pada paragraf-paragraf yg terlalu narative, aku penasaran pokoknya. Aku tak peduli pada penceritaan masa lalu yang bertele-tele, aku hanya ingin tau mengapa seorang jilbaber yg kutu buku, mau mati-matian 'mengejar' seorang pria sinis dan tak pernah menghargai perempuan kecuali ibunya. (Ah, rasanya ini bukan hanya tentang cinta, atau bukan tentang cinta sama sekali).

    Yang luar biasa dari novel ini adalah penokohan yang begitu kuat. Faras yang religius, polos, cerdas, dan teramat baik. Ikhsan yang sinis, pendendam, cuek, dan sangat egois. Serta Mareta yang easy going, bebas, dan ga mau ambil pusing. Ketiga tokoh utama yang secara bergantian menjadi '1st narator' dalam buku ini, sama-sama memiliki keinginan untuk menjelajah tiap sudut indah di bumi.

    Settingnya juga sangat detail, jelas sekali.

    Bagiku, novel ini mengangkat ide cerita yang tidak sesederhana ceritanya. Menceritakan tentang Faras yang tak pandang bulu dalam memberikan kebaikannya, serta mengabaikan pemilahan tentang 'orang seperti apa yang harus ia jadikan sahabat?' Sebuah ide cerita yang bagiku luar biasa.

    Jika dikatakan novel ini 'renyah' saya sepakat. Penulis seolah-olah ingin tiap katanya bisa dicerna tiap kalangan. Andai saja novel ini tidak menyelipkan dialog-dialog 'wow' saat Faras dan ikhsan berbicara, mungkin saja novel ini akan terasa sedikit 'terlalu renyah'.

    Novel inspiratif. Terutama bagi backpacker, Traveler (apa travelista yak, entahlah ga tau), dan para sahabat yang masih memilah-milah tentang orang mana yang lebih pantas menerima 'persahabatanmu'.

  • Anggraeni Purfita Sari

    Maaf, tapi jujur saya nggak terlalu suka buku ini T.T

    Alasan kurang suka pertama, jalan ceritanya yang agak aneh. Perempuan mana, apalagi yang berjilbab, yang mau2nya keliling nusantara hanya berbekal email demi mencari teman laki2 yang bahkan baru ketemu tiga kali? Apalagi dikisahkan pertemuannya singkat, dan si laki2 ini sifatnya malah jauh dari bersahabat. Mungkin ada ya, tapi buat saya kurang logis.

    Alasan kedua, sikap Faras ini kok kayak kurang wajar buat perempuan jawa, apalagi jawa timur yang wataknya cenderung keras. Si Faras ini kayak malaikat, baiiiiiiiik banget, ngga ada cacatnya. Mungkin emang kayak gini ya tokoh utama di novel islami, kurang membumi. Omongannya mengutip kahlil gibran terus, bahasanya tinggi terus, sikapnya baik terus. Ah sudahlah mungkin emang karakter novel Islami harus sesempurna ini.

    Mungkin emang saya nya yang kurang nyaman membaca buku ini, jadi bintang tiga menurut saya cukup. :)

  • Yusardi Reska

    deskripsinya memukau ditambah konflik2 yang membuat kita tercengang. Begitu banyak pelajaran berharga yang kita dapat dari buku ini. dan yang pasti akan menggugah jiwa petualang siapapun untuk ber-backpacking.

    "Berilah aku telinga maka aku akan memberimu suara" _Faras-Djibran_

  • Hafizh Fauziyah

    Mahameru adalah tentang 'ketinggian' cinta, :D

  • Rahmadiyanti

    Lumayan lama juga saya tidak membaca karya adik FLP satu ini. Dan... tabik! Novel ini bikin saya benar-benar ingin mendaki gunung (semua adik-kakak serta ipar saya adalah pecinta alam, berbagai gunung sudah mereka daki).

    Saya sungguh sangat menikmati karya Yana. Ada bagian di mana saya terseguk-seguk membacanya (dialog Ikhsan dengan ayahnya serta kenangan Ikhsan pada Fikri). Ada bagian di mana saya merenung.

    Yana menulis kisah perjalanan berpadu dengan persahabatan, dendam keluarga, serta pendakian Semeru, dengan indah dan manis. Dakwah diselipkan dengan elegan. Bagi aktivis dakwah (rohis atau ADK) pasti jadi terkenang-kenang, karena Yana menyuplik syair nasyid dari Saujana dan Now See Heart. Buat yang kurang familiar, terselip juga juga petikan syair lagu lokal seperti dari KLA Project dan Dewa 19 :

    Saya jadi ingin membaca Altitude 3088: Rengganis dan Altitude 3159: Miquelii.

  • Kirana Winata

    Sekelumit Dendam di Ketinggian 3676l

    Oleh: Dini Nurhayati

    Judul buku : Altitude 3676, Takhta Mahameru
    Penulis : Azzura Dayana
    Penerbit : Indiva Media Kreasi
    Cetakan, Tahun Terbit : ke-1, Juli 2013
    Kategori : Fiksi Dewasa (Novel)
    l

    Rumit. Jujur, saya katakan cukup rumit untuk mengupas novel ini. Masalahnya, karena sudah menyabet penghargaan karya terbaik di ajang perbukuan: Islamic Book Fair Award, Kategori Fiksi Dewasa. Maka, dengan melepaskan segala atribut dan gelarnya, pun mengesampingkan fakta bahwa tentu telah banyak resensi novel ini tersebar, saya memaksa mengulas sedikit banyak tentang Altitude 3676 dari kacamata pribadi.


    Sejak membaca judulnya, saya sudah sangat curiga jika di dalam Altitude 3676 tersirat perjalanan-perjalanan; backpacking sang penulis. Saya tentu—secara tidak langsung—akan mendapati jejak traveling seorang Azzura Dayana, keliling Indonesia. Dan untuk hal ini, sedari di blog Multiply dulu telah saya ketahui memang, bila Azzura Dayana teramat sangat cinta dengan aktivitas jelajah tempat. Terlebih, yang tak biasa untuk seorang wanita. Pun karenanya saya kerap merasa iri hingga sanubari, sebab ada saja batasan untuk itu. Bahkan dalam jurnal perjalanan saja, tulisannya telah merupa seumpama kisah dalam novel. Jadi, ya, saya sudah mengenal tulisan-tulisan Azzura Dayana yang khas sejak di Multiply. Akun kami berteman kala itu, tapi tak yakin betul misal dia mengingat saya. Namun, saya terlalu melankoli untuk melupakan beberapa pertemanan kecil.

    Altitude 3676 berpusat pada satu titik. Tentang seorang tokoh bernama Raja Ikhsan yang hampir tanpa diketahui sesiapa menyematkan dendam kesumat dalam dada. Soal kematian ibunya yang janggal. Dari sinilah semua berpangkal dan berujung. Dengan puncak Semeru sebagai saksinya. Ya, Ikhsan yang dikenal sebagai pendaki ulung menuju Semeru paska kematian sang ibu. Lalu di tempat yang sama, Puncak Mahameru, ia akhiri rasa itu.

    Sudah begitu saja ceritanya? Ah, tentu tidak. Berlatar belakang kisah Ikhsan inilah, sedepa demi sedepa perjalanan Faras dimulai. Penyebabnya pun tak terduga. Yaitu emai-email ‘kiriman’ Ikhsan paska mereka bertemu sebanyak 3 kali dalam tahun berbeda, namun kemudian tak ada kabar hingga hampir dua tahun setelahnya. Akan tetapi di pertemuan terakhir itulah Ikhsan yang terkenal sedikit memiliki teman sebab karakternya yang congkak plus cenderung penyendiri, berkisah soal ibu dan keseluruhan cerita kelamnya berkaitan dengan keluarga si ayah. Khusunya terhadap ibu tirinya. Total ada 3 pertanyaan yang dilempar Ikhsan pada Faras. Akan tetapi Faras belum hendak menjawabnya. Termasuk pertanyaan ketiga soal dendam dan pembalasan.

    Maka berbekal foto kiriman Ikhsan via e-mail Faras bertekad menemui Ikhsan untuk menjawab semua. Tiga pertanyaan? Apa saja? Saya sungguh tak berniat membeberkan di sini. Saya bocorkan satu lagi saja, selain dendam, yaitu 11 alasan mengapa Ikhsan harus sholat.

    Kelamnya seorang Ikhsan rupanya betul-betul dalam. Kolaborasi dari perasaan luka, kecewa, teraniaya, kerinduan, kesepian dan cinta. Semua sukses membentuknya menjadi pribadi yang tak mau mengucapkan kata maaf dan terimakasih.

    Bagaimana lengkapnya? Kali ini saya sungguh berniat untuk membuat Teman yang belum membaca penasaran. Tapi, satu bocoran lagi. Dibanding ketika saya membaca novel-novel awal Azzura Dayana, seperti Birunya Langit Cinta dan Gadis Sang Panjaga Telaga, Altitude 3676 memberikan pesona lain. Kekuatan dalam setting tempat. Alasannya, tentulah karena penulis mendatanginya, mengalami sendiri. Walau di novel lainnya pun ia sama menyambangi setting novelnya, mengeksplor dalam-dalam. Seperti di Birunya Langit Cinta yang bahkan membuat saya geram. Saya merasa kecolongan, karena Dayana mampu mengesankan satu sudut Kota Cirebon dan keratonnya, seolah dia adalah penduduk asli. Sementara sayalah yang telah menghabiskan sebagian banyak masa di sana. Benar-benar membuat ‘naik pitam’.

    Altitude 3676 ini beralur maju-mundur. Dengan point of view penceritaan orang pertama, tapi dalam tutur tokoh berbeda. Berseling antara Faras, Mareta-adik seayah Ikhsan-lalu Ikhsan. Penulis membiarkan pembaca mengetahui laju kisah bak potongan puzzle ini sendiri dari tiga tokoh itu. Dan ijinkan saya menyebut, Altitude 3676 ini adalah sastra yang berpromosi keindahan Indonesia habis-habisan. Khususnya pada yang menjadi setting di sini: Borobudur, Sulawesi, Makasssar, Ranu Pane dan puncaknya adalah Mahameru. Juga tentang kapal pinisi yang tersohor. Bertaburan juga dengan kata-kata mutiara dan lirik lagu pun nasyid yang dalam makna.

    Hanya sedikit luka kecil yang saya temukan. Pertama, kata “enggak” yang terselip di halaman 328. Padahal bolak-balik saya pastikan sebelumnya kata yang banyak digunakan adalah tidak atau tak. Kedua, ada di paragraf pertama halaman 367. Di sana yang tengah bertutur adalah Faras, namun menjadi janggal saat dia berkata-kata mengenai Ikhsan yang menolak harta dan jabatan dari sang ayah. Karena Faras menjadi seolah tahu segalanya. Ketiga, saya masih mencium kepingan seorang Azzura Dayana, khususnya di dua tokoh, Faras dan Ikhsan.

    Terakhir, saya sangat ‘membolehkan’ sebagai kata lain dari berharap, Altitude 3676 diangkat ke layar lebar. Mengingatkan saya pada harap yang sama terhadap novel The Road to the Empire-nya Sinta Yudusia dan Tetralogi De Winst-nya Afifah Afra.

    Sebagai penutup ijinkan saya berbisik, kalau kau mendapati seorang Azzura Dayana melakukan perjalanan, tanpa melupakan kamera DSLR-nya, tunggu saja. Karena setelahnya pasti ada karya manis—semanis senyumnya—yang tertuang dari goresan tintanya.[]


    Sleman, 9 Maret 2015

    Re-post from
    http://risalahkiranawinata.blogspot.c...

  • Anisa Zulhaida

    Baca buku ini kaya flashback lagi perjalanan ke Semeru, aduh jadi kangen banget pengen bisa naik Semeru sampe puncak huhu, semoga Alloh sampaikan nanti.

    Di awal sebenernya aku agak bosen bacanya, kaya lambat gitu atau emang moodnya aja gabagus ehehe, tapi seiring terus dibaca, sampai di tengah makin suka dan ngalir aja ceritanya, dan endingnya bener-bener suka.

    Ya meskipun endingnya masih open ending, gak jelas juga itu jadinya sama siapa, tapi cukup menjawab penasaran dan ngerasa lega aja berakhir gitu.

    Begitulah kira-kira ehehe.

  • Femmy

    Aku suka sekali buku ini. Aku suka selipan hikmah dalam bentuk puisi, lirik, hadis, dan ayat. Aku bersimpati pada semua tokohnya, termasuk Ikhsan yang menyebalkan. Plotnya terjaga. Masalah yang dihadapi Ikhsan juga tidak biasa. Deskripsi alam dan budayanya juga menarik (meski kadang ada yang terasa kepanjangan).

  • Aisyah Sariasih

    Saya membaca novel ini untuk kali ketiga, dan tidak bosan-bosan. Ketika keinginan untuk mendaki, tapi belum juga kesampaian, novel ini yang menjadi obat penangkalnya.

    Sedikit Review tentang novel hebat ini

    Tahta mahameru berkisah tentang Faras yang merupakan penduduk asli Ranu Pane yang menjalin persahabatan “aneh” dengan pendaki yang berasal dari Jakarta bernama Raja Ikhsan. Faras di pusingkan oleh tiga pertanyaan yang diajukan Ikhsan dalam tiga kali kesempatan mereka bertemu di Ranu pane. Tiga pertanyaan yang membuat faras cemas dan akhirnya melakukan perjalanan untuk mencari Ikhsan setelah pertemuan yang ketiga, Ikhsan tidak pernah muncul lagi, dan hanya menyisakan email yang ikhsan kirimkan untuk Faras. Dan perjalanan Faras menemui ikhsan juga hanya berbekal informasi dari email tentang objek foto di mana ikhsan singgah dalam tiap petualangannya. Raja Ikhsan, orang yang membuat faras melakukan perjalanan adalah seorang pendaki gunung dari Jakarta yang memiliki permasalahan pelik dengan keluarganya. Dia melakukan pendakian untuk dapat menemukan ketenangan jiwa. Dan disanalah dia bertemu dengan Faras yang bersikap tidak seperti orang kebanyakan.
    Dalam perjalanan itu, Faras bertemu dengan Mareta yang ternyata adik seayah Ikhsan. Awal kebersamaan mereka di awali dari percakapan Mareta dengan temannya yang menyebut nama raja ikhsan yang akhirnya membuat faras penasaran. Dan akhirnya perjalanan itu mereka jalani bersama. Dari kebersamaan itulah cerita demi cerita tentang keluarga mareta dan ikhsan terkuak. Saling menyimpan tujuan pada awalnya, namun akhirnya faras bertanya apakah raja ikhsan yang disebutkan mareta adalah raja ikhsan yang dicari faras selama ini. bersama melakukan perjalanan tersebut, banyak fakta baru yang mereka temui. Fakta tentang fikri yang merupakan teman ikhsan dan faras yang ternyata telah meninggal, fakta tentang perubahan ikhsan yang akhirnya membuat faras memutuskan untuk berhenti dalam melakukan pencariannya.
    Dalam novel ini, terdapat tokoh yang hanya sekali muncul namun memiliki pengaruh pada perubahan tokoh utama. Seperti Fikri, yang tidak pernah ikhsan anggap sebagai sahabat namun kisah yang ikhsan temukan saat melakukan petualangan membuat ikhsan melakukan hal yang selama ini tidak pernah dia lakukan. Yusuf, yang hanya sekali muncul dalam bab, namun dapat merubah cara berpikir seorang ikhsan. Tokoh singkat tersebut juga turut ambil bagian selain tokoh Faras yang menjadi rujukan ikhsan selama ini.
    Penggunaan sudut pandang bercerita dari ketiga pihak, Faras, Ikhsan, dan Mareta membuat kisah dapat diterima secara utuh bagi pembaca. Alur maju mundur yang dipilih dapat diterima dengan baik dengan model penceritaan seperti itu. tidak terkesan tokoh utama sok tahu karena setiap tokoh yang berkepentingan menceritakan bagiannya. Setting tempat yang tereksplor dengan baik sangat informative. Mulai dari lereng gunung semeru dengan Ranu Pane, Jogjakarta dengan borobudurnya, Tanjung bira dan bulu kumba yang merupakan tempat di mana Faras menemukan fakta baru tentang seorang Raja Ikhsan, Makasar dan Surabaya yang merupakan akhir petulangan mereka bertiga. Tidak lupa proses pendakian ke puncak mahameru dengan Ranu kumbolo yang indah, kalimati, dan trek pasir yang berbahaya terbahasakan dengan baik. Pembaca dapat membayangkan bagaimana indahnya tempat-tempat itu. tidak hanya tentang keindahan tempat, tapi keindahan budaya juga penulis ceritakan. Nah, inilah mengapa saya menyukai fiksi petualangan. Karena dengan hanya membaca satu buku,, kita dapat mendapatkan banyak informasi tentang suatu tempat dengan bahasa indah dan mudah diingat.
    Setiap karya pasti memiliki kurang, begitu juga dengan novel ini. penggunaan gue yang digunakan untuk kata ganti orang pertama tunggal ketika sudut penceritaan dariri sisi Mareta, sedikit mengganggu kenyamanan. Dan ketidak tersedianya pembatas buku, juka mengurangi nilai dari buku ini. namun dari semua itu, membaca novel ini, serasa kitalah yang melakukan perjalanan secara langsung. Kata-kata indah dan puitis, walaupun di sadur dari beberapa karya orang lain, membuat indah karya ini. sya’ir kahlil Gibran yang sering Faras kutip, lirik lagu yang menggambarkan suasana perjalanan, dan puisi turut menghiasi karya ini. walaupun dalam beberapa kesempatan, terasa terlalu kebetulan, namun saya menyukai kisah ini. perjalanan selalu memiliki kisah yang menarik untuk diceritakan.
    "Di gunung, kamu akan melihat setiap orang dalam wujud aslinya. karakter orang akan tampak jelas, degan segala kelebihan dan kekurangannya, dengan segala kebaikan dan keegoisannya, kuat atau tidaknya dia, mandiri atau manjanya dia, rewel atau tegarnya. Semua akan tampak di gunung."
    Bila Kita berpisah
    ke mana kau aku tak tahu, sahabat
    atau turuti kelok-kelok jalan
    atau tinggalkan kota penuh merah flamboyan
    hanya bila kau lupa

    Ingat...
    pernah aku dan kau
    sama-sama daki gunung-gunung tinggi
    hampir kaki kita patah-patah
    napas kita putus-putus
    tujuan esa, tujuan satu:
    Pengabdian dan pengabdian kepada...
    ...Yang Maha Kuasa...

    ~Puisi Idhan Lubis ~
    "Betapa tidak pedulinya dirimu ketika kamu menginginkan orang-orang terbang dengan sayapmu dan kamu bahkan tidak memberi mereka bulu"
    ~ Kahlil Gibran ~

  • Herdina Primasanti

    Suka sama ceritanya! Sayangnya waktu itu terus dihibahkan ke orang lain. Ada bagian yang fontnya beda dari keseluruhan font yang dipake, tapi nggak tau itu emang sengaja atau nggak. Kalo sengaja, rasanya agak mengganggu aja

  • Kid

    Awalnya membosankan tapi lama-lama penasaran. Alurnya cukup bagus, benangnya berkaitan dengan rapi tanpa harus mbulet dulu. Saranku sih nikmati aja alurnya

  • Afifah

    Kisah Para Backpacker, Dari Tanjung Bira Hingga Puncak Tertinggi Jawa

    Lahirnya sebuah karya, memang cermin zamannya. Apa yang terjadi pada sebuah masa, terdokumentasi dari karya-karya yang tercipta di masa tersebut. Maka, pekerjaan seorang penulis, khususnya fiksi, sebenarnya tak sekadar menjahit kata menjadi lembaran cerita yang enak dibaca dan karenanya membuat kita terhibur. Tetapi, seorang penulis sejatinya juga pendokumentasi kehidupan.
    Bahwa pernah ada sebuah masa saat anak-anak muda di negeri ini ‘keranjingan’ ber-bacpacker, salah satunya berhasil dijepret oleh Azzura Dayana, novelis muda yang tinggal di tepi Sungai Musi, Palembang, dan dicetak dalam sebuah potret karya bertajuk “Altitude 3676 (Takhta Mahameru)”. Tajuk tersebut adalah judul baru dari edisi lama “Takhta Mahameru”, sebuah novel yang berhasil memenangkan sayembara novel yang diselenggarakan Harian Republika sebagai juara kedua. Ketika novel tersebut di-republish oleh Penerbit Indiva Media Kreasi, novel tersebut diganti judul menjadi “Altitude 3676”, dengan tetap menyertakan judul lama sebagai identitas, karena novel ini memang telah dikenal cukup luas di kalangan para pembaca novel Indonesia. Altitude artinya ketinggian, 3676 meter adalah ketinggian dari Gunung Semeru, alias Mahameru, puncak tertinggi di Pulau Jawa.
    Azzura Dayana memang sedang berada di track para juara. Edisi republish ini kembali berhasil menggondol predikat Fiksi Dewasa Terbaik di ajang penghargaan “IKAPI-IBF Award 2014” di Senayan, Jakarta, 1 Maret kemarin. Sementara, di Anugerah Pena 2013 yang diselenggarakan FLP di Bali kemarin, novel ini ikut menjadi nominator novel terbaik. Apa sebenarnya yang membuat novel ini mendapat sambutan positif bukan hanya dari kalangan pembaca, tetapi juga juri berbagai event?
    Novel ini bercerita tentang 3 tokoh, yang masing-masing menggunakan sudut pandang orang pertama dalam bertutur: Raja Ikhsan, Faras dan Mareta. Pada sebuah perjalanan, Faras bertemu dengan Mareta, dan akhirnya menjadi teman perjalanan yang baik. Mereka bertemu di Borobudur, lalu menuju Sulawesi Selatan, Tanjung Bira. Untuk apa Faras melakukan perjalanan begitu jauh, meninggalkan rumahnya di lereng Gunung Mahameru? Ternyata Faras mengikuti jejak yang tertinggal dari sebuah email. Faras begitu ingin bertemu dengan sosok yang mengiriminya email. Tentu bukan karena kebetulan si pengirim email adalah seorang Raja Ikhsan yang beberapa kali bertemu dengannya saat melakukan pendakian di Mahameru (lebih lazim dikenal sebagai Gunung Semeru). Tetapi karena suatu sebab…
    Bagian inilah yang paling mengesankan saya membuat saya terhenyak dan nyaris menahan napas dari novel ini.
    Raja Ikhsan, sosok yang ‘remuk-redam’, meninggalkan ingar-bingar kehidupan perkotaan dan mencoba mencari kedamaian di sejuknya Ranu Pane dan Ranu Kumbolo. Tetapi, persoalan sepenting apa yang akhirnya membuat Faras rela mencarinya dengan cara mengikuti jejak yang tertinggal lewat email, saat Raja Ikhsan mengirimkan foto-foto tempat yang dikunjunginya? Sebegitu istimewakah sosok Ikhsan di mata gadis selugu Faras?
    Kisah Backpacker
    Daya tarik dari novel ini selanjutnya adalah perjalanan Faras dan Mareta yang enak disimak. Bagi yang menggemari aktivitas backpacker, ini bab yang paling menggirangkan. Saya sendiri menikmati betul bagian ini. Makasar dan Tanjung Bira cukup bayak dipaparkan lumayan detil dalam novel ini, termasuk adat-istiadat masyarakat Bugis yang mengagumkan. Sayangnya, justru narasi yang terlalu panjang ini seperti agak menutupi usaha Yana dalam mengeksploitasi Ranu Pane, Ranu Kumbolo serta berbagai lokasi di Gunung Mahameru yang semestinya menjadi setting dominan di novel ini.
    Bisa membaca Altitude tanpa skip, itu pertanda bahwa saya bisa masuk ke dalam novel ini, menikmati setiap diksinya, dan berkelindan dalam setting dan tenggelam dalam kisahnya. Tetapi, beberapa kali harus mengernyitkan kening, karena dalam beberapa kerikil kecil seakan menjadi pengganjal kehalusan kisah ini. Nama Faras, bagi saya aneh. Orang Jawa, apalagi ndeso, jarang yang menggunakan nama itu. Mengapa tidak Saras atau Saraswati? Lebih ‘njawani’. Logat dan bahasa Jawa yang digunakan juga beberapa terasa kurang pas. Faras yang digambarkan sangat lembut dan santun, mestinya tidak berbahasa ngoko, tetapi krama halus.
    Faras yang ‘pasrah’ terlalu baik, dan nyaris tak punya perlawanan juga menggemaskan. Jika ada sedikit gejolak yang dimunculkan, mungkin akan terasa lebih manusiawi dan diterima nalar, ketimbang saat dia ditampilkan ‘suci tanpa noda’.
    Lepas dari berbagai kekurangan, saya suka dengan novel ini, dan yakin bahwa Azzura Dayana memiliki masa depan yang sangat cerah di dunia kepenulisan, khususnya fiksi, di Indonesia, bahkan dunia.

  • Tedi Gumelar

    Novel ‘Altitude 3676’ Mengajak Untuk Mendirikan Shalat

    Baru beberapa lembar saya membaca novel altitude 3676, yang terasa adalah ‘beat’ backpacker, petualang, pengelana, penikmat keindahan alam. Terasa sekali kental aroma perjalanan-perjalanan yang menyenangkan, perjalanan yang tak akan pernah bisa dilupakan oleh penulisnya. Seolah-olah penulis novel membuncahkan seluruh pengalaman backpackernya, pengalaman petualangannya, pengalaman menikmati indahnya alam, terasa sekali ajakannya untuk ‘come on go out from your house, nikmati indahnya alam!
    Tokoh utama cerita ini yaitu Faras, ikhsan dan mareta. Mereka bertiga bercerita bergantian di novel ini. Ketiganya adalah traveller. Faras, gadis Desa Ranu Pane, desa terakhir sebelum naik ke gunung semeru. Faras berteman dengan Ikhsan, pendaki gunung asal Jakarta dengan latar belakang hidupnya yang menyedihkan.
    Satu hal yang dapat saya tangkap dari pesan yang ingin disampaikan penulis novel kepada pembaca adalah masalah shalat. Jangan lupakan shalat 5 waktu. Dan lebih baik lagi bila dikerjakan secara berjama’ah. Betapa gigihnya Faras mengajak Mareta untuk shalat berjama’ah ketika diawal cerita perjumpaan mereka untuk pertama kalinya. Shalatnya Ikhsan di dalam penjara. Shalatnya Yusuf, kenalan Ikhsan di dalam penjara. Shalatnya Pak Daud, ayah Faras. Shalat berjama’ahnya Pak Daud, Faras, Ikhsan dan Mareta di ranu kumbolo. Shalat subuhnya mereka di puncak mahameru. Pesan untuk tidak melewatkan shalat, lebih utama lagi shalat berjama’ah.
    Seperti yang saya ketahui dan lazim diketahui oleh para pendaki, backpacker, sedikit sekali mereka melaksanakan shalat 5 waktu dalam perjalanan atau pendakian. Bisa dihitung jari. Mungkin dua dari sepuluh pendaki gunung yang istiqomah melaksanakan shalat 5 waktu ini. Mudah-mudahan perkiraan saya salah. Saya berharap setengah dari para pendaki melaksanakan shalat yang 5 waktu ini. Saya teringat film ‘vertical limit’, dimana seorang pendakinya ada yang melaksanakan shalat. Saya sangat menghargai produser film yang memunculkan pemeran pendaki gunung yang melaksanakan shalat.
    Alur cerita dalam novel altitude 3676 ini, secara keseluruhan adalah alur maju. Walau ada beberapa bagian menggunakan alur bolak-balik. Dimana klimak cerita novel ini adalah keberhasilan mereka berempat; Pak Daud, Faras, Ikhsan dan Mareta sampai di puncak mahameru. Dan saya fikir, dendam Ikhsan terhadap ibu tirinya sudah berkurang. Terbukti dengan kebersamaannya dengan Mareta, adik tirinya yang bisa mencapai puncak semeru.
    Hal yang paling berkesan disini adalah Faras yang membaca beberapa ayat Al-Qur’an di puncak gunung semeru. Ia membaca surat Al-A’raaf mengenai tempat tertinggi di akhirat nanti. Tempat antara surga dan neraka, dimana para penghuni al-a’raaf ini adalah mereka yang belum pasti akan masuk kemana? Surga atau neraka. Saya merasa salut disini, menafsirkan al-a’raaf dengan tempat tertinggi yang ada di dunia. Dalam novel ini adalah tempat tertinggi di pulau jawa, yang dalam hal ini sering disebut sebagai puncak abadi para dewa. Sedikit ada kejanggalan sebetulnya disini. Menyamakan al-a’raaf nya Allah SWT nanti di akhirat dengan mahameru. Saya fikir suatu hal yang jauh berbeda. Kepercayaan adanya dewa-dewa adalah suatu hal yang bertentangan dengan keyakinan Islam yang monotheisme. Tetapi dibalik hal ini yaitu persamaan mengenai tempat tertinggi, kesamaan kata ‘tempat tertinggi’.
    Bisa dikatakan ini adalah novel da’wah. Penyampaian ajaran Islam lewat novel. Kebanyakan novel, melulu mengenai keduniaan, tapi ini menyentuh dalam sisi-sisi keakhiratan.
    Gaya penulisan secara keseluruhan yaitu menggunakan kata ganti orang pertama tunggal; saya, aku dan gue. Bergantian pelaku cerita menuliskan ceritanya. Masing-masing memiliki ceritanya sendiri yang membuat aalur cerita dalam novel menjadi utuh. Tetapi yang sering muncul saya fikir yaitu Faras dan Ikhsan. Yang tidak pernah muncul menceritakan ceritanya sendiri yaitu Pak Daud. Diawal cerita tokoh Fikri, teman Ikhsan, sempat muncul dengan kata ganti orang pertama. Muncul juga cerita mengenai keluarga Fikri.lalu cerita ibunya Ikhsan yang dibakar, ayah Ikhsan, saudara tiri Ikhsan lainnya yaitu Aulia.
    Secara umum cerita dalam novel ini berpusat ditiga cerita. Yaitu cerita di Tanjung Bira, konflik keluarga Ikhsan dan pendakian semeru. Menurut saya cerita yang mendominasi adalah konflik dalam keluarga Iksan.


    Judul buku : Altitude 3676
    Penulis : Azzura Dayana
    ISBN : 978-602-8277-92-1
    Penerbit : Indiva Media Kreasi
    Ketebalan : 416 hlm.; 20 cm
    Harga : Rp. 47.200

  • Sarashanti

    Sekilas membaca judulnya, akan terlintas dugaan di kepala bahwa novel ini berkisah tentang perjuangan seorang pendaki dalam menaklukan puncak tertinggi di tanah Jawa, Mahameru. Namun sesungguhnya dalam novel setebal 380 halaman ini tersajikan kisah persahabatan antara dua manusia dengan kemelut pertanyaan yang butuh waktu dan perjalanan panjang untuk dijawab.

    Pada bagian awal novel, pembaca akan dibuat tercengang dari karakter keras dan kasar seorang Raja Ikhsan. Ikhsan adalah seorang pendaki gunung, wartawan lepas, dan fotografer yang tiga tahun berturut-turut mendaki Mahameru. Ketika singgah di desa Ranu Pane, ia bertemu dengan Faras. Seorang gadis sederhana asal daerah setempat yang memiliki kemampuan berkomunikasi cukup tinggi lataran gemar membaca buku, khususnya buku-buku karya Kahlil Gibran. Tiga kali pendakian Ikhsan ke Mahameru selama tiga tahun berturut-turut, sebanyak tiga kali pula ia bertemu dengan Faras.

    Konflik pahit yang terjadi dalam keluarganya membuat Ikhsan dipenuhi rasa dendam dan enggan bersikap baik kepada siapapun. Termasuk terhadap perempuan, terkecuali ibunya. Tanpa disadari pertemuan dengan Faras memberikan perubahan sedikit demi sedikit dalam dirinya. Walaupun percakapannya dengan Faras terbilang singkat, Ikhsan memiliki kesan mendalam terhadap gadis yang lembut dan penyabar itu.

    Namun di tengah kecamuk pikiran Faras mengenai jawaban atas pertanyaan-pertanyan yang muncul dari percakapan mereka, Ikhsan lama tidak kembali ke Ranu Pane. Ikhsan meninghilang. Dengan bermodalkan e-mail, Faras berusaha melacak dan mengkuti jejak pria yang kerap kali disebut “Monster” tersebut. Sayangnya usaha Faras mencari Ikhsan dari Borobudur hingga ke Tanjung Bira sia-sia belaka. Tak disangka dari perjalanan tersebut Faras bertemu dengan Mareta yang merupakan saudara seayah dari Ikhsan. Melalui pertemuan ini, segala langkah untuk menjawab setiap pertanyaan Ikhsan dimudahkan hingga maksud dan tujuan Faras terwujud.

    Alur maju-mundur dengan menampilkan sudut pandang dari ketiga tokoh utama—Ikhsan, Faras, Mareta—secara silih berganti, mampu memunculkan rasa penasaran yang tinggi pada pembaca. Tidak cukup mengajak pembaca ikut berpetualang melintasi keindahan alam Indonesia bersama para tokoh, penulis juga memperkenalkan kebudayaan lokal secara mendalam, yaitu suku Bugis.

    Gaya penceritaan yang ringan membuat pesan moral dari novel terbaik “Lomba Novel Republika 2012” ini mudah diterima. Persahabatan yang riil tidak diukur dari intensitas pertemuan, komunikasi, dan jarak. Melainkan dari sebuah keyakinan dan dukungan nyata dalam memberikan pengaruh positif satu sama lain. Seperti halnya Ikhsan dan Mareta yang mengalami banyak perubahan dari segi pengabdian seorang hamba kepada Tuhan semenjak bertemu dengan Faras. Terlebih ketika karakter keras, kasar, dan pendendam dari seorang Ikhsan perlahan sirna melalui sebuah proses yang cukup panjang.

    Dan sesungguhnya dari kisah ini pula pembaca dapat mempelajari satu hal penting yang sering kali terdengar sederhana namun sulit untuk dipraktekan, yaitu saling memaafkan. Kebencian yang tertanam dalam karena konflik keluarga yang dialami Ikhsan dan Mareta bisa terselesaikan dengan ketulusan pemberian maaf yang datang ketika rasa dendam itu hilang.

    Walaupun terkadang sulit, namun seperti apa yang dikatakan Faras ketika membujuk Mareta,

    Allah saja memaafkan hamba-Nya, seberapa pun banyak dosa yang ia perbuat. Lalu kenapa kita enggak belajar memaafkan dari Pencipta kita?

    dimuat di Republika Online, 3 Juni 2012

    http://www.republika.co.id/berita/sen...

  • Meta Morfillah

    Judul: Tahta Mahameru
    Penulis: Azzura Dayana
    Penerbit: Republika
    ISBN: 978-602-7595-002
    Dimensi: viii + 380 halaman; 13,5 x 20,5 cm

    Novel ini merupakan novel peraih penghargaan terbaik kedua "Lomba Novel Republika 2011". Juri yang terlibat adalah Asma Nadia, Salman Aristo dan Priyantono Oemar.
    Menceritakan tentang 3 tokoh utama. Faras, gadis kutu buku asal desa Ranu Pane. Raja Ikhsan, pendaki gunung asal Jakarta yang memiliki dendam membara di dalam dadanya. Mareta, adik tiri Ikhsan, sang lone traveler yang berasal dari keluarga mapan di Jakarta.

    Novel ini dibuka dengan pencarian Faras terhadap Ikhsan, sahabatnya yang menghilang tiga tahun tanpa kabar. Lalu tiba-tiba mengirimkan email berupa foto dan secarik kalimat yang membuatnya resah. Faras merasa harus menemukan Ikhsan, untuk menjawab tiga pertanyaan yang belum dijawab olehnya. Untuk menenangkan dan mencegah Ikhsan berbuat hal yang kemudian hari akan disesalinya.

    Perjalanan lintas pulau, dari Jawa hingga Sulawesi ia lakoni. Hingga takdir memainkan perannya, ia bertemu dengan Mareta, adik tiri Ikhsan.

    Dari ide cerita, menurut saya novel ini sangat biasa. Namun penulis mampu membuat saya bertahan dan terus melanjutkan membaca, disebabkan alur yang lincah. Ia berhasil membuat saya kepo. Pembukaan, twist, serta alur maju mundurnya cukup lihai. Hanya saja, agak disayangkan masih ada beberapa kesalahan penulisan. Semacam, tidak ada spasi di sebuah kalimat percakapan halaman 68. Dan untuk tokoh Faras, saya merasa terlalu absurd. Terlalu malaikat. Apa iya, ada tokoh seperti itu? Puas dengan pertemanan yang hanya bertemu tiga kali. Apa iya, langsung merasa dekat? Tidakkah ia terlalu keGRan? Penasaran ya? Baca aja bukunya.. Hehe

    Untuk bumbu cinta, hmm.. Gimana ya. Agak datar sih. Untuk ending, saya agak kesal.. Sebenarnya Faras menikah dengan siapa? Penulisnya PHP-in saya #eeh.

    Secara pengemasan, segi cover cukup memikat. Font dan ukurannya pas.

    Kelebihan: bahasa yang digunakan cukup santun dan puitis. Novel ini sangat kuat di setting. Beberapa daerah dijelaskan dengan detail beserta sedikit penjelasan sejarahnya. Bahkan, daerah-daerah yang sangat ingin saya jelajahi disebut di dalamnya. Beserta deskripsi sensasinya. Agak menyebalkan untuk saya, membuat saya semakin ingin mengunjungi daerah tersebut. Ahahhaa..

    Kekurangan: bisa dibilang, penulisnya adalah jama'ah Kahlil Gibran lovers. Melalui tokoh Faras, ada banyak kutipan Kahlil Gibran. Agak membuat jenuh dan terkesan menggurui sebenarnya.

    Bintang: 3,5 dari 5

    Meta morfillah

  • Fitria Koto

    Seharian ini kuhabiskan dengan membaca novel Tahta Mahameru karangan Azzura Dayana seorang penulis merangkap Backpacker. Sesuai kegemarannya pengarangnya, novel ini berthemakan penjelajahan alam dan travelling yang dikaitkan dengan sisi religius.

    Tahta mahameru berkisah tentang kehidupan seorang backpacker bernama Raja Ikhsan yang penuh dendam. Mahameru menjadi peredam amarah dan kobaran dendam pada keluarganya. sebelum pendakian ia selalu bertemu Faras -gadis desa desa ranu pane di kaki mahameru- yang bijak dan berbagi filosofi-filosofi kehidupan. pertemuan mereka singkat namun mampu mengukuhkan keakraban dan kepercayaan untuk berbagi cerita. atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ikhsan melalui email kepada faras setelah mereka berpisah, faras kemudian memutuskan mengikuti jejak jelajah ikhsan sampai melintasi pulau jaa ke negeri ujung pandang Makassar. disanalah teka-teki dan jawaban dirangkumkan faras.

    awal membacanya, aku ngerasa bosan dengan penceritaan yang monoton dan minim kejutan.meskipun ada rahasia demi rahasia yang dipendam tokoh ikhsan, aku tak terlalu penasaran. entah sejak kapan aku dengan lihai menilai karya orang, padahal aku hanyalah penulis amatir dengan karya-karya standart.tetapi pertengahan dan menjelang akhir cerita mulai terasa menarik. banyak potongan ayat alquran, hadist, sajak-sajak kahlil gibran dan filosofi-filosofi kehidupan yang membuatku merenunginya seketika.

    dayana azzura pandai mengaitkan filosofi-filosofi itu dengan masalah yang menimpa para tokoh. intinya, tahta mahameru mengajarkan untuk menghargai alam sebagai ciptaan Tuhan dan belajar bersyukur, menerima hidup dan memaafkan kesalahan orang masa lalu. salah satu must read.

    fitria tee



  • Puput Sekar

    Keren. Itu kesan pertama saya melihat covernya, mengingatkan saya pada setiap aktivitas pendakian. Selanjutnya? Kembali menelusur jalan cerita. Di awal-awal saya sempat merasa sedikit penasaran dengan jalan cerita, juga sempat merasa kebingungan dengan penggunaan kata ganti aku sebagai tokoh utama. Sebab ada tiga tokoh utama yang berada dalam novel tersebut. Mareta, Farras, dan Raja Ikhsan. Di sini saya tidak akan mengomentari cara penulis (kakak Yana hehehe) dalam bertutur, tapi satu hal yang saya garis bawahi adalah cara penulis menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh utama. Dan saya hanya jatuh hati pada Raja Ikhsan. Pria pendaki gunung, dingin, sepi, pekerja keras, tapi ternyata masih memiliki kelembutan hati. Sempurna sekali penulis melukiskan karakter Raja Ikhsan yang kuat, sayangnya karena tersentral pada Ikhsan, Farras yang juga salah satu tokoh utama seolah tenggelam dengan Raja Ikhsan yang hebat. Bagian dari novel ini yang membuat saya tersenyum adalah ketika Farras bertemu Farras di saat-saat terakhir. Menurut saya penulis terlalu malu-malu untuk menggambarkan perasaaan hati Ikhsan da Farras, ini yang bikin geregetan. Saya juga begitu terbawa dengan deskripsi kuat saat-saat mereka melakukan pendakian ke Semeru. Kesan selanjutnya untuk novel ini? Hmmm, Traveler sekali ya kakak Yana...nice book. ^_^

  • Fitria Mayrani

    Gak salah kalo novel ini keluar sebagai juara ke-2. Saya akui novel ini luar biasa sekali. Tiga tokoh utamanya yakni Faras, Ikhsan, dan Mareta masing-masing bercerita dalam babnya, membuat penokohannya menjadi kuat sekali. Alur cerita yang tidak diprediksi seperti apa setelahnya adalah keunggulan novel ini. Ceritanya penuh intrik, terdapat tokoh antagonis yang melengkapi ketegangan cerita.

    Penulis mengangkat unsur budaya dan alam yang sangat kental pada novel ini. Saya jadi tau ada adat 'berdarah' di Sulawesi Selatan bila melakukan 'silariang' (membuat aib dalam keluarga)yang tentu saja nyawa menjadi taruhannya, cerita tentang pembuatan kapal pinisi yang membuat saya terpelongo, juga tentang keindahan pantai di Sulawesi yang semuanya dipaparkan secara gamblang.

    Bagi saya, novel ini mempunyai kemiripan dengan novel 5 Cm karya Mas Donny Dhirgantoro. Setidaknya ada 3 kesamaan : satu, ceritanya sama-sama berlatar Gunung Semeru. Dua, sama-sama terdapat beberapa lirik lagu dalam babnya. Terakhir, sama-sama terdapat kutipan wise word.

    Tidak perlu saya jabarkan panjang lebar dalam review ini tentang bagaimana cerita selengkapnya. Silakan 'telanjangi' sendiri paragraf demi paragraf, bab demi bab, maka Anda akan berdecak kagum. Selamat membaca!

  • Muhammad Ridwan

    I Love it!

    Novel ini benar-benar menakjubkan. Aku suka sama POV 1-nya yang gak bikin bingung. Lho? Soalnya ada 3 karakter utama yang masing-masing bercerita melalui sudut pandang masing-masing. :O

    Ceritanya menarik. Apalagi bagi yang suka traveling seperti aku :D . Hanya saja agak kurang logis sih perjalanannya. #namanyajugafiktif :D

    Mahameru (puncak Semeru) yang diceritakan di sini memang kuraaang banget. Maksudnya, kurang begitu digali latarnya. Lebih pas penceritaannya saat latarnya di Sulsel sama Ranu Pane.

    Sebelum baca, aku sempat kepikiran. Bakalan sama kaya 5 CM gak ya? Kan latar tempatnya hampir serupa? Tapi ternyata memang jauh berbeda. Yaiyalah, ini kan novel religi yang kurang terlalu religi <<< ini nih, salah satu keunggulannya. Jadi, kita baca gak seperti diceramahi. :)

    Aku agak kesal sama jawaban 11 Alasan Kenapa Kita Harus Salat yang ditanyakan Ikhsan. Kurang greget. :/ .

    Sebenarnya aku mau ngasih rate 5. Tapi... EYD-nya banyak yang salah dan ngawur sepertinya. Judulnya aja udah salah. :/ . Tahta itu kan yang benar Takhta??? *habis cari di KBBI :D *
    Tapi kalau dikasih rate 3 juga terlalu sedikit. :/
    Adilnya dikasih rate 4 deh... :)

    I'm waiting for your next novel Miss Azzura. (Apalagi kalau aku dikasih gratis :D )

  • Yenita Anggraini

    Pertama kenal buku ini karena direkomendasikan teman.

    Di awal, buku ini berhasil memikat saya dengan cara berceritanya yang ringan, hangat, tapi bermuatkan banyak pesan khas penulis-penulis dari FLP. Tapi di tengah-tengah, saya yang awalnya merasa senang dengan taburan beberapa kutipan indah Kahlil Gibran, potongan lirik lagu, dan puisi, mulai merasa agak terganggu karena dirasa too much. Seolah tanpa kutipan itu, ceritanya seperti tidak memiliki kekuatan.

    Setting tempat menjadi nilai plus buku ini, cukup detail, dan membuat saya berpikir kalau penulisnya pastilah sudah mengunjungi semua daerah yang ada di dalam buku.

    Mengenai penokohan, karena buku ini memakai banyak sudut pandang, cukup berhasil untuk tidak membuat saya bosan dengan beberapa pengulangan adegan. Walaupun begitu, Faras menurut saya terlalu kepo dan nekat untuk menelusuri keberadaan Ikhsan dengan alasan yang entah mengapa tidak cukup kuat bagi saya. Ikhsan sendiri, walaupun penulis berkali-kali menggambarkan dia sebagai sosok yang jahat, tidak terlalu terlihat begitu. Hanya adegan dia menculik sepupunya itu saja yang lumayan menggambarkan jahatnya Ikhsan.

    Secara keseluruhan, terlepas dari hal-hal teknis , buku ini cukup mencerahkan dan menghibur. Bukan buku yang hanya dibaca tanpa meninggalkan kesan apa-apa.

  • Apriliana

    Tahta Mahameru..
    Awal liat judul bukunya jadi teringat sama puncak dari sebuah gunung, Semeru. Puncak gunung tertinggi di Pulau Jawa yang pernah digambarkan di sebuah film yang pernah ku tonton.

    Novel ini menceritakan sebuah perjuangan untuk bisa ke atas puncaknya. Menggambarkan betapa indahnya sebuah negeri di atas awan itu. Yaaa.. benar-benar di atas awan dan awan berada di bawahnya. Dua danau yang mengagumkan, Ranu Pane dan Ranu Kumbolo yang diceritakan apik oleh penulis membuat pembaca seperti diajak ikut bersama tokoh dalam novel itu melihat keindahan dari 2 danau itu. Padang Savana dengan hamparan rumput hijau yang luas seperti membuat saya ingin segera kesana :')

    Buku ini sukses membawa saya masuk ke dalam ruang imajinasi karena saya belum pernah kesana :)
    Konflik yang di alami oleh salah tokoh pun membuat yang membaca akan ikut terbawa emosi karena sifat yang dimilikinya, Raja Ikhsan. Tapi emosi itu cepat diredam dengan pembawaan sifat bijaksana nan tenang dari tokoh satunya, Faras (seorang gadis yang berasal dari desa Ranu Pane)

  • Fitria

    akhiiiiiiiiiiiiiiiiiirnya...

    selesai juga :)

    gila, ni buku mulai dibaca dari pertengahan tahun 2012 dan baru jelang akhir tahun 2013 terselesaikan. huuum... "sesuatu" banget dey, hahaahahaha :D

    gak tau kenapa ko aku gak berasa ngeblend ya sm ceritanya. oke lah klo sisi adventures nya bikin aku pengeeeeen banget ke mahameru. pengen banget liat rane panu, rane kumbolo yang oke. pengen liat sunrise di bromo dari dulu kala. keinginan itu semakin menjadi pas baca buku ini. this part i love :)

    truuusss... cerita tanjung bira, selayar dan Celebes udh pasti bikin aku pengeeeen menjenguk kampung halaman bokap.

    dua alasan itu kenapa aku kasi tiga bintang buat buku ini.

    endingnya masih menggantung menurutku. no problem juga sebenarnya, biarkan tiap pembaca ingin membawanya akhirnya seperti apa.