
Title | : | Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 |
Author | : | |
Rating | : | |
ISBN | : | 9793780142 |
ISBN-10 | : | 9789793780146 |
Language | : | English |
Format Type | : | Paperback |
Number of Pages | : | 516 |
Publication | : | First published May 1, 1972 |
Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946 Reviews
-
Saya rasa sangat jarang sekali buku yang memiliki ciri historiografi sejarah yang berasal dari akar rumput, seingat saya hanya buku Rosihan Anwar dan George Kahin yang menulis sejarah dengan cara seperti itu.
Dan buku ini bisa dibilang menyamai kedua buku di atas, Ben Anderson melalui buku ini - dan Di Bawah Tiga Bendera - ingin menyemprot arus historiografi dominan tentang revolusi kemerdekaan yang didominasi cendekiawan intelektual.
Buku semacam ini dengan kekayaan bahan pustaka serta keunikan sudut pandang nya mengajarkan bahwa sejarah semakin relevan kepada semua orang. Semua orang bisa bejubel memenuhi lintasan sejarah. Semua orang berhak dan perlu berpartisipasi pada sejarah. -
Istilah “pemudaisme” adalah kata kunci ideal untuk menggambarkan gagasan besar yang digunakan penulis untuk menggambarkan periode singkat gejolak revolusi di Indonesia. Pemudaisme bukanlah kata baku dalam bahasa Indonesia, dan ia juga tak berpadanan dengan youthism yang berarti “discrimantion against young people.” Secara tersirat, penulis mendeskripsikan pemudaisme sebagai semangat spiritual pemuda atas jalan perjuangan yang mereka yakini. Yang menarik adalah istilah pemudaisme muncul empat kali dalam buku, dan merupakan salah satu istilah bahasa Indonesia yang tidak diterjemahkan oleh penulisnya (bersama kata “semangat”) di teks aslinya. Lewat bukunya, Benedict Anderson (Ben) mengarahkan para pembaca untuk mereposisi sudut pandang historiografi fase-fase krusial kemerdekaan Indonesia lewat kacamata pemuda (Jawa).
Masyhur lewat teori nasionalisme, Ben adalah ilmuan politik dengan konsentrasi kajian di wilayah Asia Tenggara. Buku Revolusi Pemuda merupakan riset lanjutan atas karya disertasinya di Cornell University tahun 1967. Dengan ketelitian pada detail, ia mampu mengangkat sebuah tema yang berbeda dari perspektif umum tentang fase revolusi Indonesia. Jika kemudian hari ia dikenal sebagai kulturolog politik, rasanya tak berlebihan bahwa studinya tentang pemuda Jawa adalah cikal bakal kepakarannya di bidang kebudayaan. Lewat analisis kultur Jawa yang dipadu dengan proses indoktrinasi pemikiran Jepang, ia mampu menggambarkan suatu tipikal pemuda Jawa hasil paduan kekuatan kosmos dengan fasisme Jepang.
Identifikasi budaya yang tak dilepaskan Ben dari awal hingga akhir buku adalah tentang nilai budaya pesantren Jawa yang sebagai pembentuk kepribadian pemuda. Bagaimanapun, persamaan model pendidikan Jepang dan budaya pesantren tak perlu jauh dilakukan karena Ben malah tak menjelaskan apakah budaya pengasingan diri dari masyarakat (ala pesantren) masih diterapkan secara umum di akhir kolonialisme. Justru perbedaan yang kontras antara keduanya adalah arah dan tujuan institusi. Pesantren adalah institut yang melatih ketrampilan hidup dan spiritual, sedangkan institusi Jepang justru menyiapkan pemuda Indonesia menjadi bagian militer dan paramiliter Jepang.
Menyinggung bahasan temporal, periode lingkup studi disertasi Ben terhitung sangat pendek (satu setengah tahun) tentu penelitian yang tidak mudah. Mengenai hal tersebut, ia pun mengakui bahwa penelusuran bahan hanya pada pergumulan tokoh, intuisi, dan pengalaman-pengalaman (hlm xiv). Dalam halaman lampiran biografi para pelaku (52 hlm), Ben menunjukkan tingkat ketelitiannya dengan menampilkan pergumulan 140 tokoh dalam periode tersebut. Hal yang paling signifikan dari penggarapan buku ini adalah perubahan batasan awal periode penelitian dari 1945 ke 1944. Ben menarik mundur periode penelitiannya karena menemukan akar perubahan radikal di Asia Tenggara telah terjadi lebih awal dan pentingnya pendekatan sejarah dan budaya dalam karyanya. Selanjutnya, seperti yang disebut di atas, ia membuat beda pembabakan periodisasi sejarah Indonesia, dengan membelah era kolonial dan era revolusi lewat perspektif nonelite. Dikenal sebagai marxist and anti-colonial scholar, tentu menjadi alasan Ben sangat peka terhadap gejolak revolusi hingga membawanya melakukan penelitian tentang radikalisme pemuda.
Dalam periodisasi sejarah nasional, masa revolusi kemerdekaan (1945-1949) adalah fase perjuangan pengakuan kemerdekaan yang ditandai oleh dua alat perjuangan; perang dan diplomasi. Jika ilmuan sosial berdebat tentang kontribusi mana yang lebih dominan antara soft power atau hard power dalam pengakuan kemerdekaan Indonesia, Ben memilih netral. Jelas ia mengangkat peran perjuangan senjata, tetapi sekaligus tak menegasikan signifikansi diplomasi Indonesia yang pimpin oleh Perdana Menteri Sjahrir. Pendapat Ben diamini Michael Leifer lewat perspektif yang berbeda. Lewat bukunya, Leifer menyatakan dua model perjuangan yang berbeda itu memiliki titik temu dalam kesamaan pengalaman yang diteruskan ke alam kemerdekaan. Perbedaannya dengan Ben, Leifer lebih sepakat dengan jalan diplomasi Sjahrir karena bukan hanya untuk menimalisasi korban perang, tetapi sebagai pelajaran penting dan kerangka utama politik luar negeri Indonesia di kemudian hari.
Dari perspektif di atas, Ben mempertajam pembahasan lewat dua tokoh utama, Sjahrir dan Tan Malaka yang membawa misi dalam peran politiknya masing-masingnya. Inilah yang menarik, membaca Ben artinya membaca perseteruan kedua tokoh sosialis ini. Secara detil dan penuh simpatik, Ben menggambarkan perjuangan sosial dan politik Tan Malaka sebagai tandingan historigrafi yang cenderung “versi Sjahrir”. Tan merupakan pemimpin kekuatan massa Persatuan Perjuangan yang tak puas dengan hasil-hasil perundingan antara Indonesia dengan Belanda yang lebih banyak merugikan Indonesia. Namun, pada akhirnya menurut Ben, doktrin perjuangan versi Perjoeangan Kita (milik Sjahrir) atau Moeslihat (milik Tan Malaka) memiliki kesamaan daya khayal bagi para pemuda (hlm 446). Walhasil dalam perspektif Marxis, kekuatan revolusioner pemuda harus kalah dan menepi dari “panggung sejarah”. Ia tak berhasil mencapai ujung dialetika Marx karena Belanda lebih takluk kepada tekanan internasional ketimbang pemuda Jawa. Namun, dalam perspektif lain, perlu dipahami bahwa proses perjuangan pemuda bukan tanpa hasil. Gejolak laskar-laskar dan tentara rakyat bukan dilihat sebagai pengacau konsolidasi nasional, tetapi merupakan bagian dari upaya melawan supresi milisi penjajah.
Revolusi Pemuda rasa George Kahin memang begitu terasa ketika Ben menyentuh topik-topik seputar dinamika ketatanegaraan. Walaupun ada kroscek lewat karya Pringgodigdo dkk, topik-topik penting dalam karya Nationalism and Revolution in Indonesia (Ithaca, N.Y: Cornell University Press, 1952) memang begitu terasa. Tak bisa dihindari, Kahin adalah pengajar, promotor doktoral, sekaligus pengisi prakata dalam buku Ben. Walaupun status mereka antara guru dan murid, dalam konteks sejarah revolusi, Kahin menggambarkan Sjahrir sebagai salah satu pahlawan dan penceritaan tentangnya “at least, had a happy ending”.
Bagaimanapun, kritik ini jauh dari mengurangi bobot buku ini yang berisi begitu banyak hal penting yang disajikan pengarang. Ben telah menaruh detil dan sudut pandang yang begitu menarik tentang periode revolusi Indonesia lewat pendekatan analisis budaya pemuda Jawa, penulisan sejarah versi Tan Malaka, dan soal reorientasi perspektif dan periodisasi sejarah Indonesia. Pemudaisme merupakan representasi ideal tentang penggambaran semangat spiritual para pemuda dalam mempertahankan keutuhan entitas nasional. -
political culture is hard to read.
-
Buku sejarah yang menurut saya sangat luar biasa
Buku ini menceritakan secara runut proses revolusi di Indonesia dari pra kemerdekaan tahun 1944 sampai dengan perjuangan-perjuangan pasca kemerdekaan tahun 1946. Kenapa buku ini luar biasa?
Berbeda dengan buku-buku sejarah revolusi Indonesia lainnya, Benedict Anderson menceritakan perjuangan dengan lebih menitikberatkan penelitiannya pada peranan para pemuda yang sangat krusial dalam proklamasi kemerdekaan.
Buku ini juga memperlihatkan posisi dan paham politik tokoh-tokoh legendaris yang selama ini kita kenal namanya. Bagaimana kebijakan-kebijakan mereka mempengaruhi jalannya revolusi. Betapa kemerdekaan yang kita nikmati saat ini diperjuangkan dengan mengorbankan begitu banyak orang.
Hal lain yang hebat dari buku ini adalah penulis selalu menyajikan fakta-fakta yang didasarkan atas bukti-bukti seeperti wawancara. Apabila ada peristiwa sejarah yang cukup kontroversial maka penulis akan mengungkapkan kedua sisi pendapat, sekaligus mengungkapkan pendapat penulis sendiri akan mana yang menurutnya benar.
Walapun buku ini amat sangat tebal tapi membacanya sama sekali tidak membosankan, baru kali ini saya menemukan buku sejarah yang diceritakan dengan sangat rinci dan sekaligus menarik seperti buku ini. Sulit rasanya untuk menemukan buku sejarah yang sama hebatnya dengan buku ini. Padahal saya sangat berharap bisa mengetahui lanjutan sejarah Indonesia setelah peristiwa 3 Juli 1946. -
Berisi keadaan fisik (sosial) maupun politik Indonesia dari masa Jepang hingga perkembangannya di awal kemerdekaan. Buku ini mengungkapkan banyak pergolakan yang terjadi dalam negara yang sedang memperjuangkan eksistensinta agar tetap utuh dan segera diakui seluruh dunia. Didalam hal ini peran peran pemoeda tidak pernah lepas dari pergolakan dan menjadi elemen penting yang menentukan.
Sungguh menarik membaca disertasi Ben Anderson Indonesianis angakatan kedua Cornell univesity jika. mengutip tempo.
Terlebih kalimat terakhir dari buku yang masih sangat berkesan, "Gerakan Pemuda ditakdirkan untuk kecewa terus" -
Disertasi Ben ini sangat padat. Ia menguraikan secara detil jalannya revolusi, serta gerakan pemuda yang telah tumbuh semasa pendudukan Jepang. Dalam uraiannya itu ia tidak serta merta menelan mentah-mentah timbunan data yang didapatkan, tetapi melakukan komparasi serta banyak meragukan. Analisisnya mengenai peristiwa sepuluh bulan yang singkat terhadap masa depan republik itu juga mengesankan. Proyek ini jelas dikerjakan dengan keringat yang jika diperas mungkin cukup memenuhi satu ember besar.
-
buku yang dengan sangat detail membahas bagaiamana pergerakan pemuda pada awal kemerdekaan Indonesia, mulai dari pencarian jati diri hingga pengkhianatan yang dilakukan golongan tua terhadap semangat dan cita cita pemuda akan kemerdekaan Indonesia namun walaupun begitu dengan jelas ditunjukkan di buku ini bagaimana dengan segala kekecewaan tersebut pemuda indonesia masih terus berusaha mewujudkan cita cita dan aspirasi nya terhadap revolusi kemerdekaan Indonesia
-
Kerangka waktu buku ini cukup pendek, kurang lebih 2 tahun. Namun beliau mampu memberikan konteks dan nuansa yang terjadi pada krisis kemerdekaan. Saya jarang membaca buku sejarah, apalagi yang bersifat akademik, namun pemaparan Benedict Anderson saya rasa cukup jitu dan menarik.
-
412 - 2018
-
Status: have only read up to Chapter 5 Toward a Republican Government (p. 109).
-
[Saya membaca edisi terbitan Marjin Kiri] Membaca disertasi Om Ben ini persis rasanya seperti ketika membaca Sejarah Indonesia Modern-nya Mbah Ricklefs. Entah kenapa, saya merasa butuh energi berlebih buat menyelesaikan apa yang disebut sebagai sejarah total (periode Revolusi) begini, tentu sebatas dalam penilaian subjektif saya. Om Ben dengan begitu detail melukiskan tiap peristiwa politik yang berlangsung "hanya" dalam dua tahun itu, namun begitu amat penting karena menjadi masa transisi Republik Indonesia dari negeri terjajah menuju negara merdeka. Nampak ia menelusuri satu persatu orang-orang yang berada di lingkaran elit kekuasaan, yang tidak hanya para aktor politik besar, namun bahkan nama-nama mereka yang kurang dikenal dalam panggung besar Revolusi Indonesia. Sumber yang detail, baik primer maupun sekunder, didukung wawancara dengan banyak saksi hidup (penelitian ini dilakukan pada 1960an) tentu menjadikan disertasi ini istimewa. Narasi yang, menurut saya, lumayan deskriptif memang bikin bosan kadang. Tapi beberapa analisisnya, khususnya yang menyangkut tentang budaya dan alam pikir Jawa yang melatari para elit politik Republik di awal berdiri menjadi beberapa temuan menarik bagi karyanya ini.
Dan sayang sekali, baru sempat membaca buku ini jauh sesudah diterbitkan pertama kali pada 1972 dan diterjemahkan pertama kali dalam bahasa Indonesia pada 1988 oleh Sinar Harapan. Serius, bagi siapapun, terutama yang kuliah di jurusan sejarah, buku ini perlu dan mesti jadi salah satu bacaan paling mula untuk memahami sejarah Indonesia sebagai sebuah negara-bangsa secara mendasar.
Benedict Richard O'Gorman Anderson. Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. (Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2018). xxii+566 hlm. -
dapat edisi bahasa indonesia bercover mas-mas..:D