
Title | : | Mitologi dan Toleransi Orang Jawa |
Author | : | |
Rating | : | |
ISBN | : | - |
ISBN-10 | : | 9789791634122 |
Language | : | Indonesian |
Format Type | : | Paperback |
Number of Pages | : | 176 |
Publication | : | First published January 1, 1970 |
Mitologi dan Toleransi Orang Jawa Reviews
-
Jika aku di dunia kasta
Maka aku adalah putri seorang Brahmana
Akan menikah dengan seorang Brahmana
Dan dituntut melahirkan para Brahmana kecil
Lalu mati sebagai Brahmana
Tidak terlalu buruk,
Jika saja tidak terdengar begitu sempurna
Dan membosankan!
Jika aku seorang Jawa
Dan karena aku perempuan
Maka aku harus memilih
Kunti yang melahirkan putra para Dewa
Drupadi dengan kelemah-lembutannya
Srikandi si pejuang
Subadra sang istri muda
Atau Dursilawati pecinta pria-pria tampan
Tapi aku bukan seorang Brahmana
Juga bukan seorang Jawa
Walau merayu pria-pria tampan
Sepertinya pilihan yang menarik. -
Ketika membacanya, saya kepikiran waktu diskusi di buku
Bharatayuddha saya di forum goodreads ini. Uraian Anderson di sini menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Tiwik.
Lakon wayang yang memiliki pluralisme moralitas pada saat buku ini dituliskan sedang mengalami perubahan: menjadi sesuatu yang semata oposisional. Padahal dalam pengamatan Ben Anderson ketika itu ada toleransi Jawa yang berbeda, dengan hadirnya pluralisme moralitas itu. Bukan semata Kurawa vs Pandawa tetapi juga masalah pantes, yang menjadi salah satu konsep kunci dalam toleransi ala Jawa.
Perubahan itu dicurigai datang dari pengaruh "asing" maupun konstelasi politik lokal yang sering menggunakannya sebagai propaganda kepentingan kelompok. Di sini muncul Arjuna yang melankolis, Yudhistira yang tidak diidolakan oleh masyarakat luas karena dianggap kurang berperan dengan "hanya" kebijaksanaannya, dibandingkan kesaktian saudaranya yang lain. Kecintaan Wibisana kepada kebenaran kurang digemari dibandingkan dengan nasionalisme "benar salah negaraku-nya" Komabakarna. Padahal sebelumnya setiap tokoh menempati kepantesannya sendiri-sendiri bahkan untuk tokoh semacam Baladewa yang emosional dan sering dikerjai Kresna saudara mudanya itu demi membela kepentingan Pandawa. Kresna yang memiliki nuansa Machiavelian dalam pemikirannya ditafsirkan semata realisme politik yang kejam.
Dalam buku terjemahan yang tipis yang saya baca sepanjang perjalanan kereta berhiaskan hijaunya sawah, betapa saya malu untuk bilang wayang yang saya pahami sama dengan wayang yang dahulu pernah disaksikan pada zaman sebelum Anderson menulis buku ini. Parahnya pergeseran penting ini tidak disadari.
Semangat itu lenyap, bersisa kerisauan Anderson yang bisa jadi hanya bermodal awal kuriusitas akademis. Kerisauan yang keluar dari mulut orang luar, bukan dari mereka yang mengaku pewaris budaya ini. -
jawa,
filosofi abu2 (semua filosofi begitu bukan??? lol)
wayang.
dari kecil (bacaan wajib di rumah)gw tertarik karena pembedaan karakter dari jenis sanggulnya (hehe) warna mukanya dan menunduk/tidaknya tokoh tersebut (semakin menunduk bisa jadi semakin bijak, atau sekedar self esteem yang rendah??)
karna dan kumbakarna.
konflik umum yang dilalui orang2 indonesia (indo itu jawa gak sih? hehehe). dan entah kenapa moral inilah yang dianggap popular, karena konflik tadikah?
kresna.
katalisator yang berdalih mempertahankan equilibrium semesta (semesta=politik?). bisa jadi dianalogikan negara adidaya untuk saat ini.
buku ini diterbitkan pertama kali tahun 65, kamana aja orang jawa saat itu yaa? (ikut PON? persiapan coup d'etat?)
menarik melihat persepsi seorang Anderson yang simpel namun menjiwai. begitulah moral jawa terbentuk, hei negara jawa. -
Kenapa ya buku-buku tentang orang Jawa (Indonesia) lebih banyak ditulis sama peneliti asing?
Aku beli buku ini sekitar tahun 2003-an. Dipinjem ga balik. -
Det er tydelig at Anderson skrev denne da han fortsatt var to år unna å få doktorgraden sin, for verket er både tørt og litt uoversiktlig. Anderson innrømmer selv at han ble mye morsommere etter at han fikk tenure, og den vanlige humoren hans glimrer med sitt fravær, med unntak av ordet "embourgeoisement", som gjorde meg veldig glad. Boka er informativ og nøye, men ikke veldig engasjerende, og også vanskelig å følge. Den har derimot flotte illustrasjoner, og jeg lurer veldig på hvordan han fikk dem fra én bok og trykte dem i sin egen før fotokopimaskiner.
-
Cerita jawa kuno yang sedikit menambah wawasan akan karakter wayang sebagai pribadi orang jawa serta memahami lebih dalam karakter perilaku dan psikologisnya dalam kehidupan kontemporer
-
Om Ben menulis buku ini dengan data yang begitu komplit.Sebagai peneliti yang dibesarkan dalam kultur barat, ketajaman analisa om Ben dalam memetakan karakter tiap tokoh wayang jawa patut diacungi jempol. Ia dengan gagah berani dan sarkastik mengkritik para ilmuwan barat; yang dianggapnya terlalu simplifistik dalam memetakankarakter tokoh-tokoh dalam wayang jawa. Apabila para ilmuwan barat lain mengangap konflik Pandawa dan Kurawa dalam kisah mahabarata merupakan konflik antara baik dan jahat, maka Om Ben memiliki pendapat yang berbeda. Dalam pandangan Om Ben tiap tokoh dalam Pandawa dan Kurawa mewakili karakter baik dan buruk. Dengan kata lain, Om Ben menganggap tiap tokoh Pandawa dan Kurawa adalah representasi dari sifat setiap manusia. Dengan argumen seperti ini, tentu wajar apabila kita bertanya mengapa kedua belah pihak -- yang sebenarnya bersaudara -- ini harus berperang?
Pertanyaan ini mampu dijawab Om Ben dengan baik. Menurut Om Ben, Pandawa dan Kurawa memang harus berperang karena kedua belah pihak percaya bahwa mereka sudah ditakdirkan untuk berperang. Namun, peperangan ala Baratayuda jawa bukanlah perang kebaikkan melawan kejahatan. Perang Pandawa melawan Kurawa merupakan wujud pelaksanaan kepantesan atawa kerap disebut sebagai tanggung jawab oleh para manusia modern.
Perang Baratayuda-- demikian perang ini biasa disebut-- tentu bukan arena pertanggungajawaban para sudra. Perang ini merupakan arena pertanggungjawaban para ksatria dalam membela negara. Pelaksaaan tanggung jawab seperti inilah yang menjadi dasar toleransi jawa. Pandhita menjaga umat, ksatria menjaga negara, waisya menjaga ekonomi, sudra menjaga hidup sehari-hari (Mungkin budaya ini juga yang membuat oligarki dan feodalisme masih bercokol kuat di negara ini)
Dalam pandangan saya, kejelian Om Ben dalam menganalisa karakterisktik tiap tokoh dalam wayang Jawa adalah representasi dari kemampuan beliau dalam memamahami liyan. Sebagai seorang yang dibesarkan dalam tradisi rasionalitas barat tentu tidak mudah bagi Om Ben untuk dapat memahami logika jawa yang dipenuhi dengan simbol. Apalagi Om Ben mampu mengkaitkan kompleksitas karakter tiap tokoh wayang jawa dengan keterbukaan dan toleransi mereka terhadap budaya asing-- ia menjelaskan bahwa manusia jawa percaya jika setiap manusia beserta unsur budaya yang dibawanya memiliki elemen baik atatupun buruk dan kita hanya berhak mengolahnya bukan menolaknya.
Membaca buku ini membuat saya teringat akan tulisan Denys Lombard. Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya pernah menulis bahwa etnis Jawa adalah etnis yang mengalami begitu banyak persilangan budaya. Etnis Jawa menerima dan mengolah berbagai macam bentuk budaya. Budaya Jawa, kata Lombard menerima dan menyerap kebudayaan Cina, Eropa, Hindu, Islam, hingga Kristen Eropa. Di sisi lain, penerimaan etnis jawa terhadap budaya asing disertai dengan syarat bahwa budaya tersebut harus mau berakulturasi dengan tradisi jawa. Dengan kata lain, orang jawa akan toleran terhadap budaya asing selama budaya tersebut bisa "menjawa" (nilai tawar orang jawa terhadap tradisi luar besar juga ya)
Tentu saja buku ini tidak bisa mewakili kondisi komunitas Jawa kontemporer. Patut diingat bahwa buku ini ditulis sebelum tahun 1965. Pada periode tersebut kaum agama dengan tafsir modernis belum menguasai ruang-ruang publik di Pulau Jawa. Di masa itu pula orang masih bisa dengan bebas menjadi kejawen tanpa ada ancaman di PKIkan. Kehadiran buku ini mampu menjawab rasa penasaran saya terhadap kultur komunitas Jawa pra 1965. Lebih dari itu, buku ini membuat saya kembali optimis bahwa masih ada antropolog yang mampu menggunakan logika emik dengan cara mendedah obyek kajian non manusia. -
91 - 2017
-
[Agus Purwanto]
"Dunia politik adalah arena perebutan kekuasaan (menghalalkan segala cara). Segenap sumber daya dan tingkah laku politik diarahkan untuk mendapatkan kekuasaan. Dalam mencapai tujuan tersebut, kalau perlu bahkan mengorbankan keadilan dan kebebasan bersama warga negara." } Niccolò Machiavelli -
Menceritakan sisi lain Jawa, yaitu toleransi. Anderson menggambarkan keagamaan Jawa melalui tokoh-tokoh pewayangan yang karakternya mengandung unsur dualisme. Karena menurut Anderson, dunia wayang adalah potret kehidupan orang Jawa dan panggung perpolitikan yang luar biasa.
-
Baru baca bagian awal terjemahan buku ini.
Simple tetapi cukup berisi.
[lanjut baca...] -
its cool..