
Title | : | Kau Memanggilku Malaikat |
Author | : | |
Rating | : | |
ISBN | : | 9792240934 |
ISBN-10 | : | 9789792240931 |
Language | : | Indonesian |
Format Type | : | Paperback |
Number of Pages | : | 272 |
Publication | : | First published November 1, 2008 |
- Seorang istri yang setia, tulus, mengabdi pada suami, anak, serta menantunya, ingin mengetahui keberadaan suaminya. Suami yang mempermalukan, merendahkan dengan mengawini adik menantunya ini, apakah selalu gembira seperti sebelumnya?
- Seorang preman yang dibakar hidup-hidup, pelan-pelan, dikeroyok, dan tak mau dikasihani.
- Seorang gadis penuh pesona, ditembak polisi karena menolak diperkosa.
- Seorang pengemudi bis yang tahu kendaraannya kurang layak jalan, serta anak-anak sekolah yang menumpang.
- Juga, hampir saja, seekor ayam.
Semua berjalan dengan baik dan memang begitulah sejak awal mula, sampai kemudian aku bertemu anak perempuan kecil, dipanggil Di. Anaknya lucu, mengenaliku dengan baik, entah basah atau kering ketika hujan turun, bisa tetap berada di pangkuan kedua orangtuanya saat seharusnya meninggalkannya.
Sejak ada Di, aku tak merasa sendirian. Aku melihat sayap-sayap malaikat dalam bentuk air mata, juga ketulusan.
Kematian sesungguhnya sangat indah dan menyenangkan---apa pun yang terjadi ketika masih hidup. Tapi ternyata kehidupan juga penuh pesona. Aku sempat tergoda.
Kau Memanggilku Malaikat Reviews
-
Apa perbedaan sikap dari malaikan maut saat mencabut nyawa seorang ibu yang berdedikasi tinggi terhadap keluarganya dengan seorang preman yang selama hidupnya hanya bergelimang dosa? “Tidak ada bedanya!” kata malaikat. Tak adanya perbedaan itu yang membuat malaikat berbeda dengan manusia, yang suka membeda-bedakan sesamanya. Hanya mau bergaul dan berinteraksi dengan mereka yang sama golongannya, yang sama agama dan kepercayaannya, yang sama sudut pandangannya.
Menjemput – bukan mencabut – nyawa seseorang yang sudah tiba saatnya untuk berpisah dari raga, sudah menjadi ‘tugas’ sang malaikat. Meski ia sendiri berkeberatan jika itu disebut dengan ‘tugas’. “Seperti angin yang berhembus di segala tempat,” demikian sang malaikat menggambarkan ‘tugas’nya dalam menjemput nyawa. Karena seperti angin, penjemputan itu bisa dilakukan di banyak tempat, dalam waktu yang bersamaan.
Tak ada perlakuan yang berbeda, bukan berarti semua cara kematian kemudian menjadi sama. Sikap manusia terhadap maut yang sedang menjemputlah yang menjadikannya berbeda. Perlakuan yang sama itu membuat si malaikat perlu merasa bercakap-cakap dengan ‘korban’nya, sebelum waktunya untuk menjemput sang nyawa tiba. Dari percakapan yang ia lakukan, ia bisa mengerti segala pemikiran orang yang sedang menjelang maut tentang kehidupan yang ia jalani. Mengerti, bukan berarti bisa merasa.
Mungkin karena sudah melihat segalanya, sang malaikat hanya bisa mengerti, tanpa bisa merasa. Gambarannya mungkin bisa setara dengan saya, yang mengalami cobaan, kekecewaan, kegagalan, kesenangan, kesuksesan, dan segala yang datang bertubi-tubi secara silih berganti – membuat hidup saya bak menaiki roller coaster.
Sudah tidak ada lagi rasa sedih, saat teman yang saya anggap paling baik tiba-tiba berbalik badan dan menjauhi saya. Sudah tidak ada lagi rasa dendam, saat seseorang yang tidak saya kenal tiba-tiba memfitnah saya. Tak ada lagi luapan kegembiraan, saat kesuksesan yang selama ini saya tunggu datang menghampiri saya.
Berbeda dengan malaikat yang bisa memahami, saya hanya bisa memandangi kelebatan peristiwa dalam hidup sambil bertanya-tanya apa penyebabnya, mengapa semuanya terjadi.Apakah ini pertanda bahwa malaikat itu sudah ada di sekitar saya, menunggu datangnya tanda untuk menjemput saya? Saya hanya bisa menunggu, seraya bertanya-tanya. -
1988. apakah malaikat yang sudah berbicara pada adikku seminggu sebelum ia meninggal kecelakaan sehingga ia bertanya pada ibuku, "Mama, mati itu apa sih?"
2000. apakah malaikat yang sudah meminta nenekku pamit sehingga ia bisa tersenyum ceria dari kursi rodanya, melambaikan tangan melepasku berangkat kuliah, dan tak bisa kutemui lagi sore hari hanya menemukan karangan2 bunga bertuliskan, Turut Berduka Cita.
2010. apakah malaikat juga yang sudah menemui sahabat, rekan kerjaku Hana, sehingga ia tetap ngotot untuk naik kereta Senja Utama, walau naik gerbong tambahan dan menemui mautNya ketika ditabrak dari belakang oleh Argobromo pada dini hari itu.
"Bagimu semua kematian sama, kau datang menjemput. Padahal kematian saya berbeda dengan orang yang berniat bunuh diri, dengan orang yang mati karena tua, berbeda dengan penumpang pesawat terbang yang jatuh ke dasar laut." h. 226
demikian kata Ife, seorang gadis cantik yang tewas mengenaskan.
Ini bukan cuma tentang kematian. Ini tentang kehidupan yang dijalani manusia. Bagaimana melewati umur dan berterima kasih terhadap hidup. Bagaimana melewati dan dapat menerima apa-apa tantangan hidup. Malaikat akan menjemput, tapi tidak tahu kapan dan di mana. Tapi kehidupan kita harus dilalui dengan demikian ikhlas dan berusaha bertahan, bukan menyerah dengan keadaan. Karena selalu ada orang-orang yang menginginkan kita hidup, dibanding sebaliknya.
"Kita mengira Di masuk surga atau bersama malaikat, kita tak tahu pasti, apa iya begitu. Yang terjadi perkiraan, karena tak bisa dibuktikan apa yang sebenarnya terjadi. Dan karena tidak bisa dibuktikan benar atau salah, kita anggap itu benar. Setidaknya tak bisa mengatakan itu salah." (h. 179), kata To, bandar taruhan.
Tidak tahu bagaimana malaikat akan menjemput, ada yang pelan-pelan, ada yang mendadak tanpa pesan. Kisahnya indah dan tidak menakut-nakuti, karena kita tidak pernah tahu apa yang ada di alam sana.
"Dari pengalaman sepanjang hidup ini, sebenarnya kekuatan apa yang paling bertahan, paling mendorong, paling awet?
Untuk mengetahui itu, kita perlu mempunyai cinta. Cinta membuat kita peka, membuat kita merasakan, menghayati, mengalami secara terus menerus. Semakin kita memiliki cinta, semakin kita peka. Semakin kita peka, semakin kita mengerti, merasakan, mengalami apa saja." h. 97
2005. Seorang teman, Poppy, yang terbaring di meja operasi caesar dalam bius setengah total melihat seluruh kilasan hidupnya. Ia sudah berserah diri ketika janin mendorong paru-parunya sehingga ia sesak napas. Ketika dorongannya melesak lagi mendorong dadanya yang ia ingat adalah bayinya, 'siapa yang akan kasih dia ASI kalau aku sudah dijemput?'. Maka ia berjuang lagi dan bertahan. Mereka berdua selamat.
Maka cinta adalah jawabnya. Cinta untuk melindungi, sederhana dan tidak menguasai. Cinta yang rela untuk melepas. Cinta yang sama untuk bertahan. Cinta yang menguatkan hidup.
Malaikat tidak punya rasa, karena terlahir sebagai malaikat. Menjalankan tugas, seperti air yang bertugas mengalir, angin yang bertugas bertiup. Menjemput, ketika pesan itu datang. Bisa tertunda, jika ada kesadaran rasa yang besar.
"Kau bisa menjemput yang lain dengan lebih mengenali mereka, lebih merasakan, lebih bersama mereka." (h.262)
Itu kata Di, yang memanggilku, Malaikat. -
wedhi
medhi
hantu
kegaiban
terlanjur gegabah
awal itu akhir yang ga perlu ujung
akhir itu awal yang ga perlu mula
review yg ga pernah objektif kan?
begini saja aku kutipkan :
"Siapa kau sebenarnya, Di?"
"Menurutmu siapa?"
"Di, apakah kau juga malaikat?"
"Kau yang memanggilku malaikat."
DaHi
Di
Ah
Abadi
'Ada sesuatu yang lain, yang bisa dilakukan tanpa menjadi mati.'
Terimakasih
Saya harus berulang membacanya lagi...
Makasih, Di.. -
"Kau Memanggilku Malaikat" bercerita tentang seorang malaikat penjemput nyawa yang bertugas untuk menemui orang-orang yang akan meninggal. Kali ini dia bertemu dengan seorang istri yang tulus mengabdi pada suami, seorang gadis remaja yang tewas dibunuh karena menolak untuk diperkosa, seorang preman yang dibakar hidup-hidup, seorang pengemudi bis yang bisnya tidak layak jalan, dan juga seekor ayam.
Dalam setiap pertemuannya dia bisa mengerti kegelisahan hati yang dimiliki tiap-tiap orang yang ditemuinya. Dia bisa mengerti, tapi tidak bisa merasakan. Sampai dia bertemu Di, seorang anak gadis yang mengaku telah mengenal sang malaikat sebelum pertemuan mereka.
Ada yang berbeda pada Di. Bukan hanya sikapnya yang dewasa, tapi juga hal-hal lain yang membedakannya dari orang-orang yang malaikat itu temui selama ini. Siapakah Di sebenarnya? Apakah yang akan malaikat pelajari dari Di?
Sinopsis
Menurutku ini tipe buku yang menuntut waktu dan konsentrasi dalam membacanya. Alurnya bergerak cukup lambat, khususnya setelah Di diperkenalkan pada pembaca.
Yang saya suka sih bagaimana si malaikat belajar bahwa ada sesuatu yang lain di luar kemampuannya yang dapat mengerti tapi tidak dapat merasa. Bagaimana dia belajar dari Di dan juga dari hasil pengamatan Ibu Tesarini Soemar.
Saya juga suka pada tokoh Ibu Tesarini yang diceritakan sebagai seorang miskin yang berjuang dan akhirnya mampu mencapai kesuksesan. Juga suka pada kemampuannya belajar dan mengamati tentang kehidupan setelah kematian dan apa yang dia sebut sebagai DaHi alias Daya Hidup.
Sayang masih ada sedikit typo di buku ini. Seperti kata 'segaram' di hal.216 (yang harusnya 'seragam') dan kata 'beramgkulan' (harusnya 'berangkulan') di hal 117. -
Rasanya seperti berjalan memutari bundaran secara terus menerus dan menemui dan menghadapi sesuatu hal yang sama saja dan hanya mendapatkan rasa lelah setelahnya
-
kupikir memang seperti inilah ketika kita berangkat. dijemput, diberi pengetahuan untuk mengetahui dan memahami. karena pada saatnya, air mata, tawa, amarah, rasa, kebencian akan lebur menjadi samudera pengertian.
tidak ada bedanya ketika seorang ibu tua yang baik hati, yang menjalani kehidupannya dengan penuh kesabaran, kerja keras dan dedikasi terhadap keluarga dan seorang preman yang semasa hidupnya menjadi teror, dengan seorang remaja korban pembunuhan berangkat menuju perjalanan mereka berikutnya. kusebut sebagai perjalanan, karena setelahnya mereka masih diberi pilihan untuk menjalani apa yang mereka kehendaki, untuk selanjutnya berangkat lagi menuju ke suatu tempat.
arswendo membuat keberangkatan, yang meski harus sendiri, menjadi tidak menakutkan dan menyedihkan. ada esensi ketenangan yang tidak terkesan menggambarkan imajinasi dan keyakinan yang absolut. sekaligus menghilangkan stigma bahwa semua kisah harus berwarna hitam atau putih. yang baik dijemput dengan sukacita dan menuju surga. yang jahat dijemput dengan galak dan turun ke neraka.
tapi, apakah kematian selalu lebih indah dari kehidupan?
seperti apakah wujud malaikat? apakah ia seorang laki-laki rupawan berjubah? atau ia adalah sosok wanita yang berwajah seperti bidadari? atau ia ada dalam sosok ketika kita menyapanya sebagai: kau datang untuk menjemputku? apakah kau malaikat?
demikianlah, kita memanggilnya malaikat..
-
Judul : Kau Memanggilku Malaikat
Penulis : Arswendo Atmowiloto
Copyright by Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 2008
Desain & ilustrasi sampul : Dito Sugito
Cetakan II : April 2009 ; 272 hlm ; ISBN 978-979-22-4093-1
Ini adalah kisah tentang sosok 'malaikat' yang bisa dikatakan memiliki tugas mendampingi manusia-manusia yang sedang menjelang ajal. Sebagian menyebutnya sebagai Malaikat Pencabuk Nyawa, namun "ia" menyatakan diri sebagai pendamping untuk menemani makhluk fana dalam persiapan menujua dunia yang berbeda.
Sosok ini tidak memiliki wujud tertentu, namun kehadirannya mampu dirasakan oleh sebagian besar mereka yang sekarat dan meregang nyawa. Bahkan bagi mereka yang memiliki hati dan pandangan tulus, mampu bercakapcakap dan berdiskusi layaknya bertemu dengan kenalan lama, membicarakan apa saja yang dikehendaki sembari menunggu 'saat' yang tepat untuk berangkat...
more about this book, just check my review at here :
(
http://lemarihobbybuku.blogspot.com/2... ) -
"Berita orang meninggal, bahkan untuk orang yang tak kau kenal betul selalu menelusupkan rasa murung ke dadamu, paling tidak untuk beberapa saat." - Semasa
Buku ini menceritakan perjalanan orang meninggal yang beberapa diantaranya bisa bikin ikut sedih. Perjalanan menuju tempat selanjutnya menjawab cukup banyak pertanyaan. Di tidak mau makan bukan karena nakal. Popon tidak jahat, ia hanya tidak tahu cara hidup lain. Pengemudi bis dan ojek yang mengantarkan anak-anak juga tidak salah meski mereka terus menyalahkan diri sendiri. Kematian, bagaimanapun keadaannya, juga bukan pilihan. Tinggal dijalani. Seperti bidak catur yang memiliki keleluasaan besar, namun kebebasannya dalam kotak sudah ada aturan-aturannya. -
Saya menyukai alur cerita dan isi dari buku ini. Namun, saya kurang begitu suka dengan gaya bercerita Arswendo dalam buku ini yang menurut saya terlalu bertele-tele.
-
Buku yang kaya sekali akan berbagai macam perasaan, membuat kita memandang keberadaan dan kematian dengan cara berbeda. Pun, penyampaiannya yang begitu menyenangkan untuk diikuti.
-
I lost my younger brother to heart failure as a complication of the dengue fever he contracted a week before he passed away, last July of 2013. I bought this book around Easter the same year, way before learning that I wasn't going to see him again forever. At the time I bought the book, I remember now, I only thought of the famous author of this book, Arswendo, a familiar name from my teenage years gone by, and the sweet and neat book cover - I just had to have it! I had no idea at that time that I would be short of one brother (I still have another one, the youngest, albeit estranged one but that would be another story..) before long..
When I learned about his passing, I was halfway around the world, waiting for the worst news. My family have informed me that his condition was getting worse, but I still refuse to think that this giant of a guy with a sensitive heart and two little kids in tow, would eventually succumb to dengue fever. I contracted the fever at the beginning of the year, and stayed in the hospital all by myself for 4 straight days, lost 5 lbs, and emerged just fine. Dengue fever can be deadly, but healthy people usually takes only a couple of days until the incubation period end, even my nephew (his son) contracted the same fever and survived without spending a day in the hospital, and he was 6! His heart condition just did it for him - it was the way for him to leave this world. I wonder if God had sent his best angel to meet him and guide him across the 'threshold,' to live in one of His many mansions (John 14:2) and probably get together with our beloved grandma (he had always been her favorite, having a face that closely resembled our grandad!) along the way.
When I started reading this book - the first 10 chapters are introduction to several dying characters - I thought it'd be just another book of life after death, instead, it actually celebrates life. Life is precious, but death is inevitable. There are certain ways to live life. Some people got lucky, have it easy, and just go through life until the angel of death comes calling. Others have to go through suffering, having no other options than plowing through, but somehow along the way God blesses their lives, even without them realizing it.
When you arrive at Ch. 17 then you learn that the book is about an angel; the angel who can only understand things as they are, just like the way the sun is the center of the universe, but not feeling it. He is sent to 'pick-up' dying people before they eventually cross over. He's going to accompany each and every one of them in 'purgatory' until each one of the is 'snatched' to the other Other Side. Mr. Angel in this story has been doing his job since life begins probably, but in Ch. 17 he met his contemporary, a little girl he's supposed to pick-up. No, it's not like the kid version of "
The Bishop's Wife."
The girl is the antithesis of Mr. Angel. She's probably an angel in waiting. She's probably an angel about to get her wings. In this book, she taught something about life to Mr. Angel, to someone who only knows how to take someone's life.
Would it be something to think about, whether the universe is created by the Great Designer, or just the extension of our limited understanding.. I used to have a Korean classmate who was an atheist (he probably still is) and no matter how convinced you are that every human being comes to the world with a purpose, he would adamantly say that we are just like a reed that would eventually rot and die. To tell you the truth, even after reading this book, I still don't know which belief system I should believe in, but Arswendo helped me look through the darkest of the human heart, and convinced me that God probably is just waiting for us to return to Him. That is why we learn from our ancestors that there are angelic beings. That is probably the purpose of this book. In the meantime, I'm going to read my Bible again, just to be sure.. and so should you, go back see your own Book of Life, and celebrate your life! -
Jadwal kematian memang tidak bisa ditentukan oleh manusia, karena itu sudah menjadi agenda rahasia Sang Pencipta. Hidup manusia bisa berakhir kemaren, hari ini, atau besok, tanpa bisa diduga bahkan mungkin tanpa tanda-tanda. Bukankah itu salah satu misteri hidup, ketika kematian datang tanpa ada “appointment” terlebih dahulu? Ada yang hidupnya berakhir karena penyakit, ada juga yang karena kecelakaan. Bahkan ada yang meninggal sebagai korban tindak kriminal, namun ironisnya banyak juga yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri.
Sebuah pertanyaan muncul dibenak saya: Adakah masa transisi antara hidup dan mati? Maksud saya, ketika seseorang sedang berada dalam keadaan koma, banyak yang mengatakan kalau orang itu sedang berada dalam kondisi antara hidup dan mati. Dan, apa yang dilakukan seseorang ketika sedang berada diantara hidup dan mati? Masih bisakah dia berinteraksi atau hanya sekedar mendengar pembicaraan orang-orang di sekelilingnya?
Ada yang bilang, ketika orang dalam keadaan koma, sukmanya seolah-olah terpisah dari tubuh sehingga dia bisa melihat tubuhnya sendiri sedang terbaring. Itu yang dialami Zedka dalam buku “Veronika Decides to Die” karya Paulo Coelho, meski pada akhirnya dia tetap hidup. Bahkan dia bisa melihat orang-orang namun tidak bisa berinteraksi dengan mereka. Katanya, orang yang berada dalam kondisi koma hanya bisa mendengar setiap pembicaraan yang berlangsung di dekatnya tanpa bisa memberikan respon lebih jauh terhadap pembicaraan itu, mungkin hanya lewat tanda-tanda.
Dalam dua buah drama televisi yang pernah saya tonton, diceritakan dua orang pemuda berumur 20-an yang mengalami koma karena kecelakaan. Tidak ada yang menduga kalau mereka akan mengalami koma, karena sebelumnya mereka sangat sehat dan bahagia dengan aktifitas masing-masing. Tapi begitulah hidup, penuh dengan kejutan.
Ketika kedua pemuda ini terbaring koma di rumah sakit, dokter menyarankan agar anggota keluarga dan teman-temannya memberikan dukungan terhadap pasien. Mereka disarankan berbicara dengan pasien koma, karena mereka yakin kalau pasien koma tersebut bisa mendengarkan mereka. Saat kondisi salah satu dari pasien itu menurun dan hampir menunjukkan tidak adanya tanda-tanda kehidupan, Ibunya meneriakkan kalau saudara perempuannya yang bersekolah di Perancis, sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit, dan pasien itu diharapkan mau menunggu. Dan memang benar, kondisinya tiba-tiba jadi stabil sebagai tanda bahwa dia bersedia menunggu saudara perempuannya datang lebih dahulu sebelum akhirnya dia meninggal. Pasien koma yang lain hanya bisa menangis ketika mendengar pembicaraan ibunya, hanya menangis sebagai ungkapan kesedihannya tanpa bisa memberikan respon yang lebih. Kondisi yang menyakitkan memang. Kedua kisah itu diangkat dari kisah nyata, dan keduanya mungkin bisa jadi salah satu bukti kalau orang yang koma bisa mendengar dan merespon perkataan kita.
Tapi, apakah mereka juga bisa melihat malaikat penjemput nyawa seperti yang diceritakan di buku “Kau Memanggilku Malaikat” karya Arswendo Atmowiloto? Tidak bisa dibuktikan karena kedua pasien koma itu sudah meninggal tanpa bisa memberikan kesaksian. Arswendo dalam bukunya mengisahkan bahwa ada maliakat penjemput (bukan pencabut) nyawa yang akan menerima getaran kematian dari setiap orang yang akan meninggal. Pada saat getaran itu datang, dia pun sudah dipastikan sudah berada dekat dengan orang yang akan meninggal itu. Malaikat itu digambarkan seperti udara, yang bisa berada disejumlah tempat sekaligus dalam waktu yang bersamaan ketika getaran itu muncul. Malaikat penjemput ini hanya bisa menjemput, tanpa bisa menunda dan mempercepat kematian. Dan ajaibnya, malaikat dan orang yang akan meninggal itu bisa saling berkomunikasi, bertanya jawab. Tapi sayangnya, malaikat ini ternyata hanya bisa mengerti sesuatu tanpa bisa dan pernah merasakannya. Malaikat ini menjemput nyawa orang-orang dalam berbagai situasi kematian. Ada yang harus dijemput karena sakit, dibunuh, bunuh diri, saat berhubungan badan, hingga yang dibakar massa. Mereka dijemput tanpa bisa memilih dimana dan bagaimana mereka seharusnya dijemput. Mungkin, saya atau Anda yang akan dijemput hari ini atau besok? Mungkin di rumah, di kantor, di jalan, atau dimana saja. Jadi sebagai persiapan, apa yang harus kita lakukan sekarang? -
Sudah banyak novel yang mengangkat tema mengenai kematian. Ceritanya bemacam-macam, mulai dari pembunuhan, multilasi, hingga bunuh diri. Biasanya pula novel-novel yang bertemakan kematian ini adalah novel-novel misteri. Namun, juga bisa novel-novel sastra atau sastra pop. Biasanya nuansa yang ditimbulkan dari membaca novel tersebut adalah rasa ngeri dan memilukan.
Namun, novel karya Arswendo Atmowiloto ”Kau Memanggilku Malaikat” ini tidak memberikan rasa mengerikan atau menyedihkan ketika membacanya. Novel ini memang bertemakan kematian. Namun, tidak seperti apa yang biasa dipikirkan pembaca. Novel ini menggambarkan seakan-akan kematian adalah hal yang wajar, hal yang biasa saja terjadi. Melalui novel ini, Arswendo seakan menegaskan kematian itu mau tak mau akan datang. Seharusnya menjadi suatu hal yang biasa dan tak perlu ditakuti.
Diceritakan tokoh aku dalam novel ini adalah seorang malaikat yang bertugas menjemput nyawa-nyawa orang yang telah menunjukkan sinyal-sinyal kematian. Mengapa Arswendo tidak menyebutnya ’malaikat pencabut nyawa’, sebagaimana kebanyakan orang menyebut. Malaikat dalam novel ini memang tak bertugas untuk mencabut nyawa seseorang. Ia hanya menghampiri orang-orang yang telah menunjukkan sinyal kematian. Ia akan menunggu mereka lepas dari raga masing-masing lalu mengantarkan mereka ke tempat selanjutnya secara bertahap sebelum benar-benar sampai di surga.
Sang malaikat bisa menemui mereka di berbagai tempat berbeda, dalam waktu yang sama. Ia menghibur, namun tak sepenuhnya menolong mreka untuk tidak mati pada saatnya. Ia menjemput berbagai orang, mulai dari seorang istri yang setia dan tulus mengabdi pada suami, seorang preman yang dibakar hidup-hidup dan tak mau dikasihani, seorang gadis penuh pesona yang ditembak mati karena menolak diperkosa, seorang pengemudi dan penumpang bus yang kecelakaan hingga juga seekor ayam.
Ia menghampiri orang-orang yang menunjukkan sinyal kematian, akan langsung mengetahui segala sejarah dan riwayat mereka. Sehingga ketika mereka meninggalkan raga mereka dan bisa melihat Sang Malaikat tersebut, malaikat langsung dapat menjalin komunikasi yang efektif dengan mereka. Seperti penunjuk jalan dan pengantar yang baik, malaikat akan menjawab pertanyaan apa pun yang ditanyakan kepadanya. Melalui percakapan itulah alur cerita terjalin.
”Benar kan, kau malaikat?”
”Kau bisa memanggilku begitu. Kalian biasanya menyebutku begitu.”
”Berarti benar kau datang untuk mencabut nyawaku.”
”Tidak persis begitu. Aku tidak datang mencabut nyawa....aku datang menjemput.”
Begitulah Sang Malaikat menjalani tugas-tugasnya. Semuanya biasa tak ada yang berkesan menurutnya. Ia menjalani seolah angin yang memang diciptakan untuk bertiup. Ia pun beranggapan serupa, ia diciptakan untuk menjemput nyawa. Itu saja, tak ada yang spesial dari itu.
Hingga kemudian ia bertemu, tepatnya akan menjemput seorang anak perempuan yang sudah menunjukkan sinyal kematian yang kuat. Sejak itulah ia merasa ada yang berubah dari aktivitasnya. Anak perempuan itu dirasakannya tidak seperti nyawa-nyawa lain yang ia jemput. Ia begitu tergoda dengan gadis kecil itu. Hingga sempat pula tergoda pada dunia.
Namanya Di, usianya belum empat tahun. Sejak kecil ia menderita kelainan pada paru-paru. Anehnya Di seakan bisa berkomunikasi dengan orang tuanya. Walaupun orang tuanya tak mengetahui keberadaan Di sekitarnya, mereka seolah dapat mengetahui apa yang ia katakan. Di pun, dapat membatalkan kematian seseorang ditambah pula ia tak menunjukkan tanda-tanda harus berpindah ke tahap selanjutnya dalam kehidupan. Sejak saat itulah Sang Malaikat merasakan perbedaan Di yang begitu mencolo ”Apakah Di juga malaikat seperti dirinya?” begitulah ia bertanya pada dirinya sendiri.
Walaupun berbicara mengenai kematian dan kehidupan setelah mati. Arswendi berhasil tidak menyangkutkan cerita dalamnovel ”Kau memanggilku malaikat” dengan agama tertentu. Bahkan cerita-cerita yang berkaitan tentang kehidupan setelah kematian berhasil tidak mengarah ke salah satu agama. Hasilnya novel ini menjadi pengingat bahwa kematian pasti akan datang, tanpa sedikit pun menghadirkan rasa takut. Arswendo berhasil menyajikan cerita tentang kematian dari sudut yang berbeda. -
Semua orang pasti mati. Kita semua tahu itu. Yang kita belum tahu adalah malaikat yang kita temui saat ajal menjemput. Siapa dan seperti ada ia? Kali ini, Arswendo Atmowiloto memperkenalkannya pada kita.
"Benar kan, kau malaikat?"
"Kau biasa memanggilku begitu. Kalian biasanya menyebutku begitu." (2008:7)
Si "Aku" adalah malaikat, yang datang menjemput setiap manusia menjelang proses kematian. Si "Aku" menolak prosesi penjemputan ini disebut sebagai sebuah tugas. Si "Aku" juga protes bila ia disebut mencabut (nyawa).
Dalam proses penjemputan nyawa yang akan terpisah dari jasad, Si "Aku" tidak tebang pilih. Siapa saja yang menunjukkan getaran kematian, pasti dijemputnya - dengan rasa, ekspresi dan sikap yang sama.
Tak jadi soal buat Si "Aku" bagaimana detil curriculum vitae calon arwah. Apakah dia seorang perempuan tegar dan istri setia Tesarini Soemar; Popon, ahli kriminal alias preman yang dibakar hidup-hidup; gadis cantik yang mati ditembak karena menolak diperkosa, Ife; hingga seekor ayam.
Tidak ada yang aneh pada semua kliennya itu. Selama ini, menurut Si "Aku" semua berlangsung sama. Tidak ada hal-hal khusus, malaikat hanya menemani dan berbincang seperlunya sampai masa perpisahan tiba: manusia yang sudah dijemput harus beranjak ke alam lain.
Hingga suatu hari, Si "Aku" bertemu Di, gadis kecil hampir empat tahun yang juga dijemputnya dari pangkuan kedua orang tuanya. Di berbeda. Si "Aku" hampir saja tidak menyadari Di berbeda. Ada apa dengan Di? Hanya Si "Aku" malaikat yang tahu jawabannya.
Novel Arswendo ini tidak sedang menceritakan satu sisi baik buruk manusia. Bukan pula salah benar jadi malaikat. Tulisan-tulisan di dalam novel tersebut seakan berbicara tentang absurditas senyawa malaikat yang bisa melekat dalam diri manusia. Meski tidak satu pun manusia dalam cerita yang sok jadi malaikat, memang.
Seperti Tesa yang menjalani kehidupan dengan ikhlas, setia dan tulus mengabdi, walaupun seumur hidup ia dikhianati suami dan sempat kehilangan cita-cita. Apakah Tesa sedang berusaha jadi malaikat? Tidak. Tesa hanya menjalani hidup. Toh sejak awal sebelum dijodohkan dengan si suami, ia masih bisa memilih jalan hidup.
Begitu pula dengan Ife yang ditembak mati polisi setelah menolak diperkosa. Ife juga tidak berniat jadi malaikat. Keinginannya sederhana, jadi manusia dan hidup bahagia dengan kesederhanaan yang dimilikinya: jualan.
Sebagaimana Si "Aku", baik Tesa, Ife sampai seorang Di menjalani hidup mengikuti kata hati. Saat mereka berkorban, berbuat baik atau bahkan tidak sadar sedang berbuat baik, mereka tidak melihat itu sebagai tugas atau kewajiban. Mereka hanya tergerak untuk melakukan semua itu, meski mereka tidak bisa seperti malaikat yang memperlakukan semua kliennya sama. Hampir saja -
Thx to arswendo yg bs balikin mood baca gw, nemu lg satu author yg menarik minat gw dgn cerita2 sederhana dan pemikiran2 sederhana yg nyentil, yg terkadang ga terpikirkan saking ruwetnya beban pikiran memikirkan yg rumit2,padahal ada yg sederhana yg terlewatkan yg tyata bisa menyegarkan jiwa.
Ini novel arswendo yg kedua yg dah gw baca,setelah horeluya [walopun ujungnya gantung,krn dah kburu diculik ma pihak2 tak bertanggungjawab tanpa ijin padahal lg nanggung:]
Ide cerita antara keduanya menurutku bs disambung dgn penyampaian yg sederhana tp menyentuh. Kalo horeluya ttg kepasrahan menghadapi kematian, dan 'kau memanggilku malaikat' tentang kehidupan sementara antara kematian dan keabadian.
Novel ini bercerita ttg tugas seorang malaikat yg bertugas menjemput nyawa manusia,bukan mencabut. Dan mendampingi arwah itu sampai tiba saatnya memasuki keabadian.
Bagaimana seorang malaikat hanya mengerti tanpa bs merasakan apa yg dialami oleh manusia semasa hidupnya. Sampai dia bertemu dgn seorang anak kecil dan ibu yg baik, yg selalu mengejar'y dgn berbagai pertanyaan ttg arti perasaan lewat jln hidup mreka. Yg akhirnya bs membuat sang malaikat mencoba utk merasakan bukan cuma mengerti.
Satu adegan yg sangat menyentuh saat sang anak, Di,menjelang penjemputannya. Dimana Di msh mampu berkomunikasi dgn kedua orangtuanya walopun sudah berbeda dunia,yg jg membuat heran sang malaikat. Adegan yg sangat berkesan.
[Penasaran ??? baca aja.... hehehe:]
Satu yg sangat bermakna dr novel ini,jgn pernah menyia2kan hidup,nikmati semuanya selagi kita bisa dan mampu. Syukuri semua perasaan yg bs kita alami baik senang,susah,sedih,pahit,bahagia atau apapun itu, krn setelah masa kita didunia ini kita tdk akan bs merasakan semua itu.
Krn hidup seperti permainan catur,kita bebas melangkah diatas hitam putihnya papan tergantung menjadi apa kita di permainan itu,bebas menentukan pilihan sesuai dgn aturannya,dan bila sampai digaris finish kita bebas menjadi apa saja kecuali sang Pemimpin. -
Menuliskan fiksi dengan tema "negeri langit" perlu pertimbangan matang. Karena tafsiran imajiner penulisnya akan dapt berhadapan langsung dengan orang/kelompok yang memahami perihal "negeri langit" sebagai wilayah yang sangat terjaga sumbernya. Arswendo bermain aman dalam bercerita tentang penghuni negeri langit (malaikat maut, sang tokoh)di buku ini. Sampai akhir cerita kita tidak akan menemukan icon dari satu agama tertentu yang melekat dalam identitas sang tokoh. Aman..
Sebenarnya ini akan menjadi buku sedap untuk dibaca jika saja Arswendo memperbaiki 2 kekhilafan ini :
1- Personifikasi sang tokoh
Sang tokoh yang merupakan Malaikat Maut dituliskan ala manusia.
Berfikir dan bernurani manusia, juga berbicara ala manusia.
Kalau Arswendo bisa cermat dan cerdas kemampuan imajinasinya bisa
dia pakai untuk lebih memalaikatkan sang tokoh.
2- Banyak bagian yang seharusnya tidak perlu ada
Kesannya jadi bertele-tele karena bagian tersebut seakan-akan
dipaksakan untuk mengulur-ngulur waktu bacaan dan jumlah halaman
Di luar itu semua idenya menarik. Saya suka ide ini... Belum pernah ada kan novel yang tokohnya malaikat maut ? Atau ada tapi saya tak tau ya..
3 bintang aja cukup deh mas Arswendo ya.. -
Ini adalah buku Arswendo pertama yang aku baca. Sebelumnya aku gak tertarik sama buku-buku yang ditulis oleh pe-nyastra. Yang terkesan mendayu-dayu dan puitis.
Tapi entah kenapa ketika melihat judul buku ini, aku langsung tertarik, dan tidak "ngeuh" dengan penulisnya Arswendo Atmowloto yang terkenal itu.
Ketika akhirnya aku mulai membaca halaman pertama, Oh God! Arswendo sangat pintar dalam pemilihan katanya. Briliant!
Kemudian bagaimana saya bisa ternganga dan percaya bahwa "sepertinya" Arswendo pernah menjadi seorang Malaikat.
Ini sebuah hal yang sangat sulit. Dimana penulis bisa dengan pintar menjadikan bukunya begitu nyata dan sesungguhnya.
Well.. ada beberapa bagian "tentang malaikat" dan tentang "kehidupan setelah mati" yang bertentangan dengan keyakianan saya.
Tapi over all aku acung 2 jempol jari kiri dan kanan saya atas karya ini.
Dan pada akhirnya, saya mulai hunting buku-buku Arswendo lainnya. -
buku Arswendo yang pertama kali kubaca. pertama mengenal dia lewat ACI dan keluarga cemara, lalu berlanjut dengan cerpen2nya di media.
Kau Memanggilku Malaikat, berkisah tentang tokoh aku -si malaikat, yang bertugas untuk menjemput manusia jika sudah tiba waktunya, bisa di segala tempat juga cuaca. di sini diceritakan dia harus menjemput Ibu Tesarini yang demikian siap dan tenang menghadapi kematiannya, juga si Popon -preman pasar- yang mati terbakar, Ife yang hendak diperkosa dan mati dibunuh, Di gadis kecil yang lincah dan harus menderita sakit paru-paru dan tokoh2 lainnya. Semua dikisahkan dengan runut, juga dengan bahasa yang mudah dimengerti. Tak jarang, kalimat-kalimatnya ber-rima, sehingga enak dibaca. enak dibunyi.
Karena kematian adalah suatu keniscayaan. Keniscayaan itu telah datang pada tokoh-tokoh di dalam bukunya, dan mungkin(pasti) di lain waktu dia akan datang menjemputku. siapkah aku? -
3 bintang karena :
1. buku hadiah door prize dari Mbak Roos, waktu pertama x datang di GRI, Minggu kemarin!! (termasuk priceless nich!!)
2. gaya penceritaan & kata-kata yang terangkai, mengasyikkan.... mengalir ena...k sekali, jadi langsung suka begitu membaca kata2 pembukanya, dan tidak terasa langsung selesai pada minggu malam itu juga.
ya sudah itu saja... kalau tentang isi-nya, saya cuma bisa bilang, agak sulit mengubah benak saya untuk menjadi se-kosong gelas yang siap diisi dengan cairan baru... jadi, ga bisa terlalu menikmati ceritanya.. (hal yang buruk ya... **masih merenungkannya**) -
membaca buku ini seperti membaca puisi, ada bagian-bagian yang tak bisa dimengerti sepenuhnya atau diulas dengan pasti melalui kata-kataku sendiri, tapi bisa dinikmatkeindahannya. Pusat cerita ada di ending buku ini, yang begitu cepat bergerak dan membuka misteri dari buku ini.
Tapi walau demikian nampaknya penggambaran "dimensi tanpa waktu" sepertinya dlanggar sendiri oleh si pengarang, saat tokoh Tesa harus "menunggu" (menunggu berarti ada dimensi waktu di dalamnya) si malaikat bertanya kepada Di agar Tesa dapat bertemu dengan Di. -
critanya sdikit menggelikan & manakutkan,.
sebagai gambaran ketika kita merenggang nyawa & rasa sakit akan hal itu tergantung sikap kita saat bernafas ini,..
ada 4 kisah kalau tdk salah,.
Ibu Tesarini, preman yg di bakar hidup" tp tetap saja dia tak kenal ampun, remaja yg di zolimi serta dibunuh polisi & pengemudi bus yg mengetahui bahwa kendaraannya tak layak jalan sampai anak" sekolah pun yg jadi korban
serta anak kecil yang saya bilang lucu di sini,
karena pertanyaan yg dia ajukan ke malaikat cukup bernilai tak sebanding usianya -
Sejak awal sudah menemukan keasyikan cerita ini. Penokohan kompleks, meski tokoh-tokoh cameo ada yang terasa dipaksakan (perempuan pengebom jihad, ibu yang meracun tiga anaknya, sampai ayam yang melihat malaikat).
Percakapan kadang membingungkan, akibat penggunaan tanda petik yang... membingungkan (mau menjelaskannya saja saya bingung). Hal lain yang membingungkan adalah fakta tentang Di yang juga membingungkan si 'malaikat asli'.
Secara keseluruhan, cerita berkembang baik. Meski alur maju-mundur, tetap asik dinikmati. Arswendo selalu membuat saya berpikir, lalu merasa puas.
AZ -
Buku ini merupakan sebuah perjalanan dan pembelajaran bahwa yang terlihat baik belum tentu akan berakhir baik dan yang buruk juga sebaliknya karena memang tidak ada yang pasti, bahkan malikat pun tidak menyadari bahwa gadis kecil itu juga malaikat. Dan setiap keinginan yang diperoleh tanpa sebuah usaha akan menjadikan kita cepat bosan karena kita tahu yang kita inginkan setelah tiada tidak akan berubah menjadi kenyataan, sehingga mempersiapkan segala sesuatu sebelum masa itu datang adalah sebuah kenikmatan yang kadang kita lupakan.
-
"Aku mengerti tapi tidak merasa." kata sang Malaikat.
"Malaikat yang baik, ijinkanlah aku menceritakan sedikit kisahku, walaupun sudah tidak berarti lagi." kata Ibu Rini sang istri yang baik hati.
"Aku pun membenci tubuh itu!" kata Popon sang penjahat.
"Saya berlama-lama di sini supaya Malaikat tahu, ada kehidupan seperti ini." kata Di anak kecil yang memikat sang Malaikat.
Nah, kisah manakah yang akan memikat anda? -
Malaikat tidak punya perasaan, dia hanya memahami yang ingin dipahami. Tidak berharap apa-apa, namun bagaimana bisa memahami hidup yang dijalani manusia?
Pretty interesting story. Sudut pandang manusia tentang malaikat yang diciptakan oleh Tuhan, mungkin tidak berhasrat, tidak menginginkan apa-apa. Tapi berubah karena seorang gadis kecil yang tingkah lakunya seperti malaikat.
A little cheesy. Ah sepanjang apa sih akal manusia untuk memahami hidup? Apalagi hidup seorang malaikat. -
"pagi berlalu lagi
membawa sisa-sisa rindu
seperti mendung itu
itu tanda langit rindu bumi
jangan cemburu pada hujan pagi
lebih baik kita berpeluk
sebab ketika berangkulan
ada kemesraan, ada kekuatan, ada kedamaian,
ada kebersamaan, ada keberduaan,
ada rasa kantuk, ada sedikit mabuk,
ada kedamaian, ada rasa syukur,
ada kedamaian, ada semuanya,
termasuk cinta"
(hlm. 116, puisi Bapak Di untuk Di) -
Hmmmmm...ini buku pertama arswendo yang gw baca..jadi gw gk bisa membandingkan dengan buku-buku beliau sebelumnya.
Buku ini sangat menyentuh buat gw...gk tau ya sehabis memabaca buku ini kok gw merasa bahwa kematian itu sesuatu yang sangat indah...gw terharu saat malaikat bertemu dengan Di..... -
Buku ini menemani saya waktu sakit. Seorang teman tanya sama saya, "Kamu lihat malaikat, tidak?" Ha-ha, dikiranya saya mau mati. Karena di buku ini memang bercerita tentang malaikat yang datang sebelum kematian.
Terlepas dari betul/tidaknya keberadaan malaikat ini, pada dasarnya manusia memang butuh teman bicara. Sayang, kesibukan kadang menjadi kita lupa dengan kebutuhan ini. -
"Bung Arswendo................, aaaahhh anda memang tahu apa yang ingin anda tulis. Bukumu ini bung, salah satu favorit saya yang tidak pernah bosan saya membacanya puluhan kali...
Buku yang berhasil mengundang emosi pembacanya, adalah salah satu buku yang berhasil, bukumu ini salah satunya (minimal buat saya)..."